Senin, 07 Desember 2009

SAYA INGIN MENJADI PENULIS HEBAT



Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat!
Penulis Bermental Baja Tahan Karat
Oleh: Rosmen


Setiap orang adalah"penulis". Sejak lahir kita sudah ditakdirkan menjadi seorang "penulis". Tindakan adalah tintanya dan kehidupan adalah kertasnya. Seberapa panjang tulisan kita, tergantung Tuhan Yang Maha Pencipta. Dia bisa mengakhiri tulisan kita kapan saja. Bagus jeleknya tulisan kita, semua akan diterbitkan di kehidupan selanjutnya, yaitu di akhirat.

Menjadi Penulis adalah impian saya. Mengapa saya ingin menjadi penulis? Itulah pertanyaan yang ingin saya jawab pertama kali. Pernyataan di atas adalah salah satu jawabannya, tapi tentu jawabannya bukan hanya itu saja.

Menurut saya, menjadi penulis itu sangat menyenangkan. Saya bisa mengeluarkan semua ide dari otak saya, mengungkapkan perasaan dari hati saya dan mengaktualisasikan eksistensi dari dalam diri saya.

Saya tidak hanya ingin menjadi penulis, tapi saya ingin menjadi penulis hebat! Penulis hebat adalah penulis yang banyak melakukan hal hebat. Hal hebat inilah yang menjadi tantangan berat yang harus saya hadapi.

Setiap penulis, termasuk penulis hebat tentu berawal dari membaca. Sejak kecil saya sudah suka membaca. Meski saya terlahir dari keluarga miskin yang sama sekali tidak akrab dengan dunia menulis dan membaca, tapi itu tidak dapat menahan dahaga saya untuk terus menulis dan membaca. Saya baca apa saja yang bisa saya baca. Buku, koran, majalah, papan reklame, kemasan produk, coretan-coretan semuanya saya baca.

"Membaca itu hobinya orang kaya! Jangan sok kaya deh lo!" Begitulah ejekan teman-teman pada saya. Saya tidak peduli dengan ejekan mereka. Saya anggap itu sebagai do'a. Mudah-mudahan saja dengan berawal dari membaca, saya bisa beneran jadi orang kaya hehe...

Tentu kekayaan bukanlah tujuan utama saya. Menjadi penulis adalah sebuah cita-cita yang membanggakan yang tentu tidak bisa dinilai dari aspek materi saja. Tujuan menulis harus berasal dari hati nurani dan kemauan kita sehingga kita akan memegangnya dengan sungguh-sungguh. Dengan tujuan yang jelas, saya tidak akan ragu untuk berjuang mewujudkan impian saya menjadi penulis hebat.

Perjuangan saya diawali ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMP. Suatu hari sebuah kesempatan emas datang menghampiri saya. "Lomba Resensi dan Novel Teenlit: Speak Your World" begitulah bunyi pengumuman lomba menulis yang tertera di halaman belakang novel terbitan Gramedia Pustaka Utama yang saya pinjam dari salah seorang teman. Inilah kesempatan saya. Saya begitu menggebu-gebu ingin mengikuti lomba itu. Dengan ide cerita orisinil yang saya punya, saya memberanikan diri untuk menulis novel. Tapi baru beberapa lembar menulis, saya terpaksa harus berhenti karena terbentur biaya rental komputer yang membengkak.

Untuk menulis novel mungkin masih terlalu berat untuk saya. Saya pun mulai beralih menulis artikel dan cerpen. Tapi, semua itu tidak membuat saya lebih baik. Berbagai permasalahan dalam menulis mulai menghantui saya. Saya takut tulisan saya jeleklah, ejaannya salahlah dan bla bla bla. Saya tidak pede mengirimkan tulisan saya ke media. Memang sih ada beberapa tulisan saya yang saya kirim ke media, tapi semua hasilnya nihil, tidak ada satu pun tulisan saya yang berhasil dimuat.

Berbagai pertanyaan yang mengusik hati mulai menyergap saya. Bisakah saya menjadi penulis sukses? Mungkinkah saya tidak cocok menjadi penulis? Saya mulai meragukan impian saya. Saya menyerah. Saya berhenti menulis dan berjanji akan melupakan dunia menulis dari kehidupan saya.

Saya sudah berhenti menulis. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu tetap mengusik saya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya gila. Saya harus menjawab semua pertanyaan itu. Tapi, bagaimana saya menjawabnya? Menulis, ya menulis adalah jawabannya. Saya tidak akan pernah tahu saya bisa atau tidak menjadi penulis kalau saya tidak menulis.

Dengan kepercayaan diri yang baru, saya mulai kembali menulis. Saya tidak terbebani lagi. Saya pun mulai gencar mengirimkan karya saya ke media baik itu melalui pos maupun e-mail. Meski memang belum berhasil, tapi saya terus mencoba dan mencoba hingga akhirnya setelah saya duduk di kelas 2 SMA artikel pertama saya yang berjudul "Jadilah Generasi Baru Bersih dari Korupsi" dimuat di lembar Belia surat kabar Pikiran Rakyat edisi Selasa tanggal 15 April 2008. Saya betul-betul senang dan bangga. Ini adalah salah satu momen paling bersejarah dalam hidup saya.

Pengorbanan saya akhirnya terbayar juga. Saya bolak-balik ke rental komputer, ke warnet, ke kantor pos, bahkan saya sempat pulang jalan kaki 4 KM karena ongkos pulang habis dipakai ke warnet. Huh, rasanya saya ingin menagis haru kalau mengingat hal itu!

Dari menulis artikel, saya mendapat honor sebesar Rp. 200.000- dipotong pajak 5% jadi Rp. 190.000-. Surat tanda terima honornya masih ada lho! Dari honor segitu, saya pun bisa membeli sebuah handphone.

Saya tidak hanya menulis artikel dan cerpen, berbagai naskah drama pun sudah pernah saya tulis mulai dari yang berbahasa Indonesia, Inggris sampai Sunda. Bahkan Guru Bahasa Sunda saya sempat mengirimkan naskah drama Sunda saya yang berjudul "Karedok Emok" ke TVRI Jabar untuk dipentaskan. Meski belum membuahkan hasil, tapi itu merupakan prestasi tersendiri buat saya.

Sejak kelas 3 SMA saya mulai mengikuti newsletter Kursus Menulis 9 Minggu bersama Jonru. Dari sinilah saya mulai belajar kepenulisan lebih dalam lagi. Saya pun mulai berani menulis di blog dan lebih gencar lagi mengirim karya ke media.

Setelah menunggu lebih dari 1 tahun, akhirnya karya kedua saya yang berupa cerpen berjudul "Realita Cinta Bau Cuka" dimuat di tabloid Gaul edisi 5-11 Oktober 2009. Dengan dimuatnya karya ini, semangat saya untuk menulis pun semakin tambah membara.

Perjalanan saya untuk menjadi penulis sukses sekaligus hebat masihlah sangat panjang. Seperti kata Louis L'Amour, "Kita meraih kemenangan bukan dalam hitungan mil, melainkan inchi. Raihlah beberapa inchi saat ini, lalu mulai bertahan dan kemudian raih lagi beberapa inchi." Yup, saya masih dalam proses. Saya tidak boleh puas dan harus terus berkarya.

Saat ini, saya dapat merasakan kenikmatan luar biasa dalam menulis. Inilah salah satu hal hebat yang saya yakini dapat membawa saya menjadi seorang penulis hebat yang tentunya sekaligus penulis sukses. Sebuah pilihan hidup telah saya ambil. Saya harus mempertanggungjawabkan pilihan saya ini dengan berusaha mewujudkannya menjadi nyata.

Kerja keras dan do'a adalah kunci keberhasilan. Kita juga harus konsisten berjalan di atas rel yang benar supaya tidak tergelincir dari jalur menuju keberhasilan. Untuk itu otak, hati dan pikiran saya harus difokuskan. Saya harus membenahi mental saya dengan mental seorang penulis hebat. Karena saya yakin seorang penulis hebatlah yang bisa menjadi penulis sukses.

Penulis hebat adalah seorang yang bermental baja. Layaknya baja, seorang penulis hebat harus kuat terhadap benturan apapun. Meski terkadang ia memuai, tapi ia segera ke bentuknya semula, yaitu ke bentuk mentalnya yang seorang penulis hebat. Layaknya baja dan besi yang dapat menajamkan baja dan besi lain, seorang penulis hebat juga dapat "menajamkan" sesama dengan karya-karyanya. Untuk itu, ia harus selalu diasah dan ditempa supaya karya-karyanya berkembang menjadi karya-karya yang hebat, berkualitas dan bermanfaat bagi orang banyak.

Seorang penulis hebat tidak hanya harus kuat, ia juga harus tahan karat. Ia harus punya formula ampuh seampuh campuran Nikel, Kromium atau Timah yang mampu melapisi baja sehingga tahan karat dan tidak lapuk dimakan usia. Dengan formula seperti itulah kita bisa menangkis segala gangguan dari luar yang dapat menggerogoti semangat dan tekad kita. Penulis hebat tidak akan pernah membiarkan semangat dan tekadnya keropos. Ia akan selalu tetap mempertahankan mimpi dan cita-citanya.

Penulis hebat tidak ditentukan oleh seberapa banyak karyanya yang sudah diterbitkan atau dipublikasikan, seberapa banyak karyanya yang laku di pasaran atau seberapa banyak penghargaan yang sudah ia dapatkan. Penulis hebat yang sebenarnya adalah penulis super tangguh yang akan selalu berjuang mewujudkan impiannya sebagai penulis sukses.

Untungnya, sekarang ada buku CARA DAHSYAT MENJADI PENLIS HEBAT. Sebuah buku yang dapat menuntun kita mewujudkan mimpi menjadi penulis hebat sekaligus penulis sukses. Buku ini dapat dijadikan oase untuk memuaskan dahaga menulis kita. Untuk itu, buku ini harus saya baca. Tentu bukan cuma dibaca, tapi isinya juga harus diterapkan dalam kehidupan nyata.

Kita bisa mengambil banyak manfaat dari buku penuh inspirasi ini. Tentu ini sangat bagus untuk menumbuhkan motivasi diri supaya lebih terpacu lagi.

Untuk saat ini, buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT belum tersedia versi cetaknya. Jadi, buku ini belum bisa didapat di toko-toko buku terdekat. Tapi untuk kita yang ingin segera melahap buku ini, kita tidak usah khawatir karena versi ebook-nya sudah tersedia.

Untuk versi ebook-nya, kita bisa mendapatkan sejumlah PENAWARAN SUPER WAH yang tidak berlaku untuk versi cetaknya. Harga ebook-nya cuma Rp. 49.500-. Tidak hanya itu, setiap pembeli juga akan mendapat bonus voucher sebesar Rp. 200.000- dari Sekolah Menulis Online. Ini adalah diskon SMO paling BUESARRR yang pernah diberikan! Diskon ini ekslusif cuma ada di sini lho!

Sudah puas? Eits... tahan dulu, bonusnya masih ada lagi lho! Setiap pembeli juga berhak mendapat modul esklusif dari SMO secara GRATIS, didaftarkan ke kelas SMO Free Trial,mendapat bimbingan karir di bidang penulisan yang berlaku seumur hidup dan masih banyak lagi.

Tergiur? Tunggu apalagi, segera dapatkan PENAWARAN SUPER WAH ini! Ingat, penawaran ini hanya berlaku untuk versi ebook, TIDAK BERLAKU untuk versi buku cetaknya. Penawaran ini akan ditutup sewaktu-waktu bila versi cetaknya sudah terbit. Makanya, jangan tunngu lama lagi! Segera raih kesempatan emas yang sangat langka ini!

Ingin tahu lebih banyak lagi tentang buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT? Kunjungi http://www.penulishebat.com
Mau ikutan fan-nya di Facebook? Klik http://www.facebook.com/penulis hebat
Jangan lupa follow Twitter-nya juga ya! Klik http://www.twitter.com/penulishebat

Menjadi penulis bukanlah hal yang mustahil. Saya pasti bisa menjadi penulis hebat dengan terus berkarya dan meningkatkan kualitas diri.

Baja bisa kuat dan tahan karat karena dibuat dari campuran besi serta bahan-bahan lain yang kuat. Begitu pun dengan penulis hebat. Penulis bisa hebat karena dibentuk oleh pikiran serta tindakan-tindakannya yang hebat.

Saya siap menjadi penulis hebat!



Selasa, 10 November 2009

47


47

Oleh: Rosmen

Kurasakan kerikil yang berjatuhan di wajahku. Pengap, itulah suasana yang kurasakan saat itu. Debu-debu berkeliaran mengganggu pernapasanku. Mulut dan hidungku terasa perih menahan debu-debu yang entah darimana asalnya itu.

Sunyi senyap, tak ada suara yang bisa kudengar. Tapi, sesaat kemudian kesunyian itu seketika pecah karena ada setetes air yang menetes di wajahku. Tetesannya terasa begitu dingin seakan langsung membekukan sekujur tubuhku.

Dapat kurasakan tubuhku sedang terbaring lemas. Kucoba gerakan kedua tanganku, tapi tak bisa. Kucoba gerakan pula kedua kakiku, tapi itu pun tak bisa. Sekujur tubuhku mati rasa. Tak ada satu pun bagian tubuhku yang bisa kugerakan.

Perlahan kucoba membuka mataku. Pelan-pelan kedua mataku terbuka. Tapi, tak ada satu pun yang bisa kulihat. Semuanya hitam, semuanya gelap gulita! Ada apa ini? Apa aku buta? Tempat apa ini? Ya Tuhan, apa aku sudah mati?

* * *

Siang itu, kota Padang tak secerah biasanya. Awan yang mulai mendung tampak menutupi sebagian langit kota. Tapi, hal itu tetap tak menyurutkan langkahku dan Anira untuk tetap jalan-jalan mengubek-ngubek isi kota Padang yang terkenal sangat eksotis itu. Justru karena langit yang sedang mendung itu, kami jadi bisa keluyuran sepuasnya tanpa perlu pake sunblock yang super tebal.

“Huh capek, istirahat dulu yuk, Fam! Kaki gue udah pegel nih!” keluh Anira yang emang kelihatan capek banget. Keringat mengalir deras dari dahinya.

“Ya udah, kita istrahat dulu aja deh! Perut gue juga udah keroncongan nih, kita cari makan yuk!” ujarku sambil mengusap-ngusap perutku yang udah hampir 6 jam nggak keisi.

Setelah nyari kesana kemari, akhirnya kami menemukan sebuah rumah makan yang namanya cukup unik. Nama rumah makannya Kadeudeuh Minang. Kata ’Kadeudeuh’ dalam bahasa Sunda artinya pacar, kekasih atau orang yang disayang. Agak aneh juga ya, bahasa Sunda dipadukan dengan Minang. Jadi penasaran, gimana rasa masakannya ya?

Jajaran menu di rumah makan itu emang nggak biasa ditemuin di kota Padang. Bayangin aja, kok bisa-bisanya sih tahu Sumedang bisa nyampe ke kota ini! Jadi bingung, mau makan apa ya?

Anira pesen rendang dan tahu Sumedang, aku pun ikut-ikutan. Lagi-lagi rendang! Sudah hampir 2 minggu di Padang, kami nggak bosen-bosennya makan rendang. Habis, makanan khas Minang yang sempet diklaim sama negara tetangga ini emang selalu enak buat dijadiin temen nasi sih!

Saat lagi lahap-lahapnya makan, tiba-tiba mataku teralihkan oleh wajah Anira yang juga lagi lahap makan di depanku. Wajah cewek berkerudung pink itu kelihatan cerah banget. Entahlah, hari itu aku merasa Anira agak beda aja. Anira emang cantik, tapi entah kenapa hari itu ia terlihat sangat cantik.

“Ada apa, Fam?” tanya Anira tiba-tiba membangunkan lamunanku.

“Ah, ng…nggak ada apa-apa kok!” sergahku reflek.

“Nasinya buruan dimakan donk!”

“I…iya.” Aku langsung buru-buru menghabiskan makanan yang masih tersisa di piringku. Aku bego banget sih! Kok aku malah ngelamunin Anira, kalau Anira tahu kan bisa berabe!

“Duh, kenyang banget nih! Kita pulang yuk!” ajakku dengan perut yang udah buncit.

“Ayuk, tapi beliin makanan buat temen-temen kita dulu dulu ya!” seru Anira sambil membereskan tas belanjaannya.

“Oke deh, siiip…”

Anira dan ketiga temanku yang lain, Indra, Tina dan Sisi, udah hampir 2 minggu ada di Padang. Kami berlima datang dari Jakarta buat praktek Kuliah Kerja Nyata tentang budaya Minangkabau. Maklum, kami kan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, jadi hal itu udah jadi bidang kami.

Selain buat tugas kuliah, aku juga datang kesini buat sekalian mudik. Awalnya mereka ikut numpang di rumahku, tapi udah 2 hari ini mereka menginap di hotel. Katanya sih biar kerjaannya jadi lebih fokus. Maklum, di rumahku kan selalu rame.

Indra, Tina dan Sisi sengaja nggak ikut aku dan Anira karena mereka harus gantian nyeleseiin tugas. Kemaren kan aku dan Anira yang kerja, jadi sekarang giliran mereka.

Sekitar pukul 4 sore, aku dan Anira tiba di hotel. Kamar Anira, Tina, Sisi dan Indra ada di lantai 3. Mereka menyewa 2 kamar yang saling bersebelahan. Kamar Anira, Tina dan Sisi nomor 27 sedangkan kamar Indra nomor 28. Tapi, kalau buat ngerjain segala tek-tek bengek tugas sih yang dipakenya kamar Indra.

“Assalamualaikum everybody! Lagi pada sibuk nih!” sapaku sambil nyelonong masuk sama Anira ke kamar nomor 28 itu.

“Waalaikumsalam!” jawab Indra, Tina dan Sisi dengan muka-muka cemberut kayak tutut-sejenis keong sawah dalam bahasa sunda. Mereka lagi pada duduk lesehan di depan laptop.

“Lama banget sih! Kalian kemana aja?” gerutu Sisi ngambek.

“ Iya, pacaran aja mulu! Inget sama temen donk! Kita lagi sibuk, kalian malah enak-enakkan!” timpal Tina ikut ngambek.

“Si…siapa yang pacaran!” sergahku malu. Muka aku dan Anira pun langsung pada memerah. “Kita Cuma jalan-jalan doank kok!”

“Kita nggak ngelupain kalian kok! Nih, kita bawain oleh-oleh!” ucap Anira sambil memberikan sekantong keresek yang isinya 3 porsi nasi sama rendang.

“Wah, apaan nih?” seru Indra penasaran. “Wah, rendang! Kebetulan nih, kita belom makan dari tadi!”

“Makanya, jangan kerja mulu! Isi tuh perut!” seruku membalas. Mereka langsung nyerbu makanan itu dan langsung menyantapnya. Dasar, mereka kayak ayam yang lagi kelaparan aja deh!

Aku dan Anira jadi yang gantiin ngerjain tugas mereka. Kami harus nerusin nyusun laporan yang panjangnya minta ampun itu. Pantesan aja mereka pada bete, habis laporannya emang ngeboringin banget sih!

Laporan itu emang penting banget. Kalau laporannya nggak selesai, sia-sia aja semua kerjaan yang udah kami lakuin selama ini. Bete memang, tapi tak apalah, yang penting aku bisa duduk berduaan bareng Anira.

Ketika sedang sibuk-sibuknya ngerjain tugas, tiba-tiba aja kepalaku mendadak pusing. Laptop, lantai dan dinding kamar tiba-tiba terasa bergetar. Suara orang-orang yang sedang berlarian di lorong langsung bergemuruh kencang. Ada apa ini? Apa ini gempa?

Kami langsung panik berlarian keluar. Di luar, orang-orang sudah berjubel. Derai tangis, seruan Allahu Akbar dan teriakan minta tolong terdengar dimana-mana. Betapa dahsyatnya guncangan yang sedang kami rasakan saat itu. Plafon hotel berjatuhan, dinding dan lantai mulai retak. Beberapa bagian bangunan pun sudah mulai ambruk.

Kami saling terpisah satu sama lain. Dalam kepanikan yang amat sangat, aku terjebak di antara jajaran pintu dan tangga yang sudah roboh. Di sana-sini, banyak orang yang bergeletakan tertimpa puing-puing bangunan.

Ya Tuhan, apa ini akhir hidupku? Dan ternyata pertanyaanku itu langsung mendapat jawabannya. Tiba-tiba saja atap kokoh yang ada di atasku roboh menimpa tubuhku. Dan seketika, semua pun menjadi gelap, gelap gulita.

* * *

Tetesan air terus menetesi wajahku. Tetesannya terasa kental dan berbau. Baunya seperti bau darah. Darah? Apa cairan yang menetesi wajahku ini darah? Aku panik. Aku coba berteriak, tapi aku terlalu lemas untuk melakukannya.

Entah sudah berapa lama aku di sini. Bau busuk pun perlahan mulai menyeruak. Mungkinkah aku sudah menjadi mayat? Entahlah, tapi sampai sekarang aku masih bisa merasakan detak jantung dan hembusan napasku yang masih berjalan lancar.

Kring…kring…kriiiing…. Bunyi handphone di saku celanaku tiba-tiba membangunkan kebisuanku. Deringnya terus berbunyi kencang seakan menggetarkan seluruh isi bumi.

Samar-samar, terdengar suara langkah beberapa orang yang datang mendekat. Aku tak tahu darimana asal suara itu. Suara itu pun semakin mendekat, semakin dekat hingga aku dapat merasakan langkah itu sudah berada di atas kepalaku.

“Apa ada orang di dalam?” sahut seseorang di luar sana. Sepertinya ia mendengar bunyi dering handphoneku.

“Ehmmm….” jawabku mengeram. Aku tak mampu berbicara.

Perlahan-lahan secercah cahaya pun mulai terlihat. Cahaya itu semakin lama semakin lebar hingga aku bisa melihat dua sosok pria berpakaian serba loreng yang datang merangkak masuk menolongku.

“Tenang, anda selamat!” ujar salah seorang pria itu sambil mencoba mengeluarkanku.

Setelah cukup lama berusaha, akhirnya aku pun bisa dikeluarkan. Aku digotong mereka keluar dari tumpukan puing-puing bangunan yang menimpa tubuhku. Sinar mentari akhirnya dapat kulihat juga. Kilatan lampu kamera dan orang-orang yang ingin melihat segera datang mengerumuniku. Serbuan pertanyaan dari mulut mereka saling bersahutan seakan mau menerkamku. Aku hanya diam seribu bahasa. Yang aku bisa hanya menangis dan terus menangis.

* * *

Kubuka mata ini lebar-lebar. Dapat kurasakan empuknya kasur yang sedang ku tiduri saat itu.

“Ifam!!!” ucap seorang wanita berkerudung yang menangis tiba-tiba sambil memelukku. Aku kenal suara ini! Aku kenal hangat pelukan ini!

“Ibu…!” sahutku ikut menangis. Aku rangkul erat-erat tubuhnya. Ternyata tanganku sudah bisa bergerak lagi.

“Syukurlah Nak, kamu selamat!” ucap ayahku yang juga memelukku disertai kedua adik perempuanku. Derai tangis pun langsung menyeruak. “Sudah 47 jam kamu terjebak dalam puing-puing bangunan itu. Syukurlah kami bisa melihatmu lagi!”

“47 jam? Sungguh sulit dipercaya, ini mukjizat! Terima kasih ya Tuhan, karena kuasa-Mu aku masih bisa hidup. Tapi….. dimana teman-temanku? Dimana mereka?

“Mereka … mereka belum ditemukan, Fam!” ucap ibu seakan tahu isi hatiku. Tubuhku langsung lemas aku tak percaya mereka telah tiada. Lalu, bunyi handphone itu! Siapa yang menelponku?

“Bu, handphoneku mana?”

“Ini,” jawab ibukuku sambil menyerahkan handphoneku. Aku langsung memeriksa handphone itu dan ternyata ada pangilan tak terjawab dengan nama Anira di layarnya.

Untuk saudara-saudaraku di Sumatera Barat dan Jambi

Bandung, Oktober 2009

* * *

Senin, 03 Agustus 2009


Underground Pinky

“Dasar ngaret lu Ben! Jam segini baru dateng, kemana aja sih lo?” gerutu Indra ketika aku baru datang.

“Sorry…sorry…tadi jalanan macet banget,” jawabku menggunakan alasan yang seperti biasanya.

“Ah, dasar elonya aja yang lelet. Udah tau kalee kalo Bandung itu supermacet! Apalagi kalo malem Minggu kaya gini,” gerutu Rizal.

“He…he…he…sorry banget deh…”

“Ah, udah deh ayo cepet kita masuk! Udah telat banget nih!” seru Indra.

Setelah melewati pintu masuk yang dijaga ketat oleh om-om scurity dan bapak-bapak polosi yang sangar, akhirnya kami bisa sampai juga ke dalam gedung. Ribuan penonton sudah tampak memadati gedung yang berkapasitas sampai 3000 orang itu. Tujuan mereka sama, apalagi kalau bukan buat nonton band-band indie underground yang keren abies.

Menonton live music underground kaya gini memang udah menjadi hobiku. Bersama kedua sahabatku, Indra dan Rizal, aku tak pernah melewatkan kalo ada event-event yang seperti ini. Bagiku menonton live music bagai sebuah terapi untuk mengusir segala kepenatan di rumah dan di sekolah. Sebenarnya, selain itu aku juga sekalian mau cari pacar baru buat mengakhiri masa kejombloanku. Kata teman-temanku sih biasanya mereka berhasil. Jadi, mudah-mudahan aja aku juga bisa berhasil ngedapetin pacar baru.

Setelah hampir telat 30 menit, akhirnya live music pun dimulai juga. Seluruh penonton mulai bergemuruh tehipnotis oleh lagu cadas pertama yang dibawain sama band pembuka. Dentuman lagu itu juga mulai menggetarkan tubuhku hingga aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar. Sungguh fantastis memang. Saking asyiknya, aku bahkan sampai terpisah dari kedua sahabatku.

Ketika sedang asyik-asyiknya terbawa oleh hentakan musik, tiba-tiba saja pandanganku tersilaukan oleh sesosol makhluk yang ikut berjingkrak-jingkrak di sampingku. ”Gila, Britney Spears darimana nih?” pikirku dalam hati.

Penampilan cewek itu sungguh mencolok mata. Ia terlihat pede dengan wig dan tas tangan yang serba berwarna pink, serta sebuah kacamata ekstra besar yang nangkring nyaris menutupi sebagian muka mungilnya.

Tiba-tiba saja cewek itu tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku jadi salah tingkah. Apa benar cewek it melambaikan tangannya kepadaku? Lalu ia semakin mendekatiku. Jantungku pun semakin berdetak sangat kencang.

“Goyang bareng yuk!” ajaknya kepadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ngeliat wajahnya aja aku udah nerveous duluan. “Asyk banget ya?”

“I…iya,” jawabku agak terbata.

“Ayo goyang dong kaya aku!”

“I…iya.”

Meski masih agak sedikit nerveous, aku coba untuk meneruskan aksiku yang sempat terhenti tadi.

“Aku suka banget lo lagu ini. Kamu gimana?”

“Iya a…aku juga suka.”

“Mereka tuh keren banget ya.”

Kembali aku menjawab iya. Ya, hanya iya, iya dan iya yang dapat kujawab. Entah kenapa tak ada kata lain yang mampu keluar dari mulutku selain kata itu.

Sedang seru-serunya mengobrol, tiba-tiba saja ia terjatuh. Wig, tas dan kacamatanya ikut jatuh berceceran ke lantai. Aku menjadi panik. Aku coba memboyongnya dan memunguti semua barangnya yang terjatuh. Aku pegang wig dan kacamatanya, sementara tasnya aku selipkan di ketiakku. Lalu aku bawa ia ke sisi gedung untuk menyadarkannya.

“Eh, bangun-bangun!” seruku panik sambil berusaha menggoyang-goyangkan badannya agar bisa bangun dan akhirnya ia pun terbangun.

“Kamu gak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.

“Enggak, aku gak apa-apa kok. Aku… Cuma pusing doang. Makasih ya udah nolongin aku.”

“I…iya.”

Lalu ia berdiri dan mengambil wig serta kacamatanya dari tanganku.

“Sekali lagi makasih ya udah nolongin aku. Aku tak tau harus membalasnya dengan apa.”

“Ah, gak apa kok. Tapi, kamu bener gak apa-apa?”

ia mengangguk. Lalu ia kembali lagi menuju ke tengah gedung. Saat aku hendak mengikutinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh tepukan tangan yang menepuk bahu kiriku. Ketika kulihat kebelakang ternyata ada seorang bapak polisi dan seorang wanita yang berdiri di sebelahnya.

“Ini tas saya, Pak!” seru wanita itu sambil merebut tas milik cewek berambut pink itu. Aku lupa belum mengembalikannya.

“Ayo ikut saya, Dek!” seru bapak polisi sambil memborgol kedua tanganku.

“Eh, apa-apaan ini Pak? Saya mau dibawa kemana?”

“Ayo ikut saya ke kantor polisi!”

“Kantor polisi? Emangnya apa salah saya?”

“Kamu kan yang mencuri tas milik perempuan itu?”

“Enggak Pak. Saya bukan pencuri.”

“Ah, jangan bohong kamu?”

“Beneran Pak. Saya dapet tas itu dari cewek lain yang berambut pink.”

Gila, ternyata aku telah dibodohi oleh cewek berambut pink itu. Karena sebuah perbuatan yang sama sekali tak pernah kuperbuat, aku jadi harus meringkuk di kantor polisi selama sehari semalam hingga akhirnya kedua orang tuaku datang membawa sejumlah uang tebusan untuk mengekuarkanku.

Minggu, 05 Juli 2009

cerpen "Chimpanzee Kissing"


Chimpanzee Kissing

Oleh: Rosmansyah

Kiza sudah beberapa kali mengirim testi kayak gini di dinding Facebooknya Gavin, “Vin, kapan lo mo jengukin gue lagi? Gue bete banget nih sendirian mulu!”

Kiza mungkin akan marah karena sampai sekarang Gavin belum sempat membalas testimonialnya. Gavin memang lagi sibuk banget. Jangankan buat ngebalas testi orang lain, buat nulis status terbarunya aja ia belum sempet.

Gavin memang ingin sekali menjenguk Kiza yang saat ini tengah dirawat di rumah sakit. Tapi, mau gimana lagi? Tugas makalah tentang perilaku hewan primata yang tengah dikerjakannya telah menyita hampir seluruh waktu dan pikirannya. Otak Gavin rasanya mau pecah karena terus dicekoki oleh berbabagai jurnal penelitian aneh tentang orang utan, simpanse dan hewan-hewan sejenis lainnya yang dianggap Charles Darwin sebagai asal asul nenek moyang kita.

“Halo Za, gimana kabar lo? Elo baik-baik aja kan?” Gavin mencoba menyempatkan diri menelpon Kiza sore itu.

“Baik gimana? Gue bete banget nih! Katanya mau jenguk gue, tapi mana? Sampe sekarang kok belum nongol juga sih?”

“Sorry-sorry, gue lagi sibuk banget ngerjain tugas nih? Gue janji besok bakal dateng jengukin lo deh!”

“Sorry ya Vin, gue gak bisa bantuin lo. Padahal kan harusnya kita ngerjain tugas itu bareng-bareng!”

“Ah, udah deh Za! Nggak apa-apa! Lo istirahat aja deh!”

“Thanks ya, Vin. Lo udah bantuin gue.”

“Ah, gak apa-apa Za! Lagian, gue juga seneng ngelakuinnya kok!” Gavin mencoba nyenengin hati Kiza. Kiza terpaksa cuti kuliah karena sakit. Tugas akhir semester yang harusnya dikerjain sama mereka berdua, terpaksa harus diserahin semuanya sama Gavin.

“Betewe, besok lo beneran datang ya! Awas, jangan bo’ong!”

“Okey, deh Bos!”

“Ya udah, nelponnya udahan dulu ya! Ngerjain tugasnya yang bener, entar dimarahin dosen lho!”

“Iya-iya Bu Guru. Cerewet banget sih!”

“Ya udah, sampe jumpa besok ya! Bye Gavin!”

“Bye Kiza!”

* * *

Malam sudah semakin larut, tapi mata Gavin belum seret-seret juga. Mau nonton TV, acaranya gak ada yang rame. Mau nonton DVD, filmnya ngeboringin semua. Huh, daripada bete, akhirnya Gavin pun memilih untuk internetan aja! Malem-malem ngenet? Eits, jangan curiga dulu ya! Gavin gak akan buka situs yang aneh-aneh kok! Paling-paling cuma buka Facebook doank!

Dari Si Berry hitam manisnya, Gavin menuliskan status terbarunya, “Huh, gue gak bisa tidur nih! Insomnia is killing me!”

Gavin mencoba melihat status terbaru temen-temennya satu per satu. Wuih, ternyata banyak juga yang udah memperbaharui statusnya! Status mereka pada aneh-aneh. Ada yang lagi ngeronda lah, ada yang lagi clubbing lah, bahkan ada juga yang lagi asyik nongkrong sendirian di WC! Hehe, mereka ada-ada aja ya!

Dari sekian status yang ia baca, tiba-tiba matanya langsung tertahan pada sebuah status yang lumayan aneh untuk dilihat. Foto seorang gadis berkepala botak yang tengah tersenyum dalam status itu begitu menggoda pikirannya.

Dia bukan Britney Spears atau Sinead O’Connor. Dia bukan pula almarhum Sukma Ayu atau pun gadis cilik si pemeran Ronaldowati. Dia, ya Gavin mengenal gadis itu! Dia adalah Kiza! Ya Tuhan, apa yang terjadi pada Kiza? Kenapa ia membotaki kepalanya?

“Meski aku udah botak, tapi aku tetep cantik kan?” Itulah status terbaru yang ditulis Kiza 10 menit yang lalu.

Sepertinya Kiza memang tak punya pilihan lain selain memangkas habis rambutnya. Rambut indahnya yang dulu panjang tergerai, kini sudah tak terlihat lagi. Helai demi helai rambutnya semakin lama semakin rontok akibat sel kanker yang terus menggerogoti tubuhnya.

Tiga bulan yang lalu ia telah divonis dokter mengidap kanker otak. Salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh manusia itu telah menjadi problematika baru dalam hidupnya. Kiza harus meminum puluhan butir obat setiap harinya demi mengurangi rasa sakit yang terus menyerang tubuh mungilnya.

Ada yang baru ngebotakin rambutnya nih! Dibotakin ma siapa, Za? Tanya Gavin mengomentari status Kiza.

Setelah beberapa menit kemudian, Kiza pun membalas.

“Ma gue sendiri.”

“Yang bener, Za? Emang lo bisa gitu?”

“Ya, bisa donk! Britney Spears aja bisa, masa gue nggak sih!” Jawab Kiza menyombongkan diri.

“Okey-okey, gue percaya deh!”

“Gimana, bagus gak?”

“ Ya, lumayan. Btw, jam segini kok lo belum tidur sih?”

“Gue lagi gak bisa tidur nih! Lo sendiri, ngapain malem-malem fesbukan? Gak bisa tidur juga ya?”

“Iya nih, gue juga sama!”

“Malem udah larut banget nih! Udahan fesbukannya yuk!”

“Iya deh. Ya udah, met bobo aja ya!”

“Met bobo juga!”

Perbincangan di dunia maya pun berakhir. Mereka harus segera memejamkan mata untuk bermimpi indah sebelum fajar keburu datang membuka hari.

* * *

Gavin berdiri di depan sebuah pintu bernomor 13. Banyak orang yang bilang angka 13 itu sebagai angka penuh kesialan. Hal apa aja kalo berhubungan sama angka itu pasti dianggap angker. Bahkan karena saking angkernya, banyak judul film yang memakai daya magis angka tersebut sebagai daya pikat utamanya.

Untuk sebagian orang, angka 13 mungkin penuh misteri. Tapi, untuk sebagian lagi, angka 13 mungkin dapat membawa rizki. Well, Gavin datang kemari bukan buat ngomongin panjang lebar mengenai angka 13. Gavin datang kemari buat menjenguk seorang gadis yang sama sekali tak ada hubungannya dengan angka penuh nuansa mistis itu.

Gavin mengetuk pintu itu sampai tedengar suara dari dalam yang mempersilakannya masuk.

“Hai, Za!” Sapa cowok yang tengah mengenakan blue jeans dengan atasan kaos warna biru itu sambil membuka pintu bernomor super angker yang ada di depannya. Di balik pintu itu, ia lihat Kiza tengah terbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan pakaian khas para pasien rumah sakit.

“Hai, Vin!” Balas Kiza sambil menyandarkan tubuhnya ke bantal.

Gavin menatap sesosok makhluk berkepala pelontos yang ada di depannya. Ia jadi teringat dengan sosok makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di film Independence Day. Kepalanya sama-sama bening tak berambut. Hanya saja, kalau makhluk yang ini jauh lebih cantik. Sangat jauh lebih cantik.

Wajah cantik Kiza memang tak pernah berubah. Meski penyakit ganas terus menggerogoti tubuhnya, tapi pesonanya tak pernah habis. Memang, pipinya yang dulu chubby kini terlihat lebih pirus. Begitu pun dengan kulitnya. Kulit wajahnya yang dulu putih merona, kini tampak lebih pucat. Tapi, semua itu tetap tak bisa mengubah wajah ayu Kiza yang memang udah cantik dari sananya.

“Liat! Ini buat lo, Za!” Ujar Gavin sambil menyerahkan sebuah boneka simpanse lucu yang tadi baru dibeli di toko favoritnya Kiza. Gavin dan Kiza memang punya kesukaan yang sama. Mahasiswa dan mahasiswi semester 1 jurusan Biologi itu sama-sama suka benda yang berbau monyet. Mungkin itu sebabnya Gavin dan Kiza memilih membuat makalah tentang hewan primata itu sebagai tugas akhir semester mereka.

“Wah, bonekanya lucu banget Vin! Makasih ya, Vin!”

“Iya, sama-sama. Entar malem lo harus tidur yang pules ya! Kan sekarang udah punya temen baru!” Ujar Gavin sambil duduk di samping Kiza.

“Iya deh hehe…”

“Bokap nyokap lo kemana, Za?” Tanya Gavin tiba-tiba.

“Bokap nyokap gue? Tanya Giza balik bingung. “Lo tau sendiri kan mereka tuh sibuk banget! Mereka mana ada waktu buat gue! Anaknya botak aja mereka gak tau!”

“Jadi, mereka belum tau lo botak?”

Kiza hanya mengangguk. Kasihan Kiza, ia harus berjuang melawan penyakitnya tanpa kehadiran kedua orang tua di sampingnya.

“Vin, rambut gue bakal tumbuh lagi gak ya?” Tanya Kiza dengan nada bicara melemah.

Sesaat, benak Gavin langsung tertegun mendengar pertanyaan Kiza.

“Ya…ya pasti lah! Kalo udah sembuh, rambut lo pasti bakal tumbuh lagi kok!” Jawab Gavin mencoba meyakinkannya.

“Sembuh?” Tanya Kiza semakin melemah. “Apa gue bakal bener-bener sembuh , Vin?”

“Ya pasti donk, Za! Elo pasti sembuh!”

“Tapi, gimana kalo gue gak bisa sembuh? Gimana kalo gue mati, Vin?”

“Kiza!!!” Sergah Gavin marah. “Elo bicara apa?”

Air mata perlahan jatuh membasahi pipi Kiza. Kedua tangan mungilnya mencoba menyeka, tapi air mata itu terus mengalir deras dari kedua mata sayunya.

Gavin sebenarnya sangat mengerti dengan perasaan Kiza. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ini sungguh menyebalkan. Gavin merasa sangat tak berguna. Ia merasa menjadi makhluk yang paling tak berguna di dunia.

Dengan naluri alamiahnya, tiba-tiba Gavin merangkul Kiza. Ia pun menciumi ubun-ubun gadis yang tengah menangis tersedu-sedu itu dengan lembut. Entahlah, saat itu Gavin jadi teringat dengan perilaku simpanse yang tengah dipelajarinya. Simpanse dan manusia memang punya cara yang sama buat menenangkan hati teman satu spesiesnya. Mereka memeluk dan mencium temannya yang sedang stres agar stres temannya itu jadi berkurang.

Evolusi memang sungguh menakjubkan. Meski Gavin bukan pendukung sepenuhnya teori itu, tapi ia menyadari teori itu sedikit ada benarnya juga. Teori evolusi memang penuh misteri. Masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan untuk membuktikan teori kontroversial ini.

Tangis Kiza terhenti. Tampaknya keberhasilan teori evolusi dapat sedikit dibuktikan dalam kondisi ini.

“Udah, lo jangan nangis lagi ya Za!” Ujar Gavin sambil mencoba menghapus air mata Kiza.

“I…iya, Vin.” Jawab Kiza tersipu malu. ia pun melepaskan pelukan Gavin.

Getar Blackberry Gavin tiba-tiba membuyarkan suasana haru di antara mereka. SMS yang langsung dibacanya segera merekahkan senyum di bibirnya.

“Oh, ya Za! Gue punya kejutan buat elo lho!”

“Kejutan apa, Vin?” Tanya Kiza penasaran.

“Bentar ya, gue mau keluar dulu.”

Gavin nongol keluar pintu sebentar. Sepertinya ia sedang memanggil seseorang di luar sana untuk masuk ke dalam. Dan ternyata bukan hanya seorang, tapi ada sekitar 10 orang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu.

“Hai, Kiza!” Sapa mereka. Di antara mereka tampak beberapa teman yang dikenal Kiza, tapi untuk selebihnya ia tak kenal.

“Mereka adalah kejutannya, Za,” ujar Gavin menunjukan mereka semua. “Mereka adalah temen-temen yang selalu ngedukung lo di Facebook. Mereka dateng kesini buat lo, Za!”

Kiza tak tahu harus bilang apa. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Ini sungguh luar biasa. Dan tiba-tiba, salah seorang lelaki di antara mereka maju mendekati Kiza.

“Ini untuk kamu, Za,” kata lelaki itu sambil menyerahkan sebuah rangkaian bunga yang cantik pada Kiza. “Semenjak kami baca ceritamu di Facebook 3 bulan yang lalu, semenjak itulah kami tak henti-hentinya mendukungmu.”

“Aku…aku tak tahu harus berkata apa. Ini sungguh indah teman-teman. Terima kasih!” Ucap Kiza terharu.

“Kamu tak perlu bilang apa-apa, Za! Kami sudah cukup senang bisa datang menjengukmu kemari.”

Kiza tersenyum sembari meneteskan air mata.

“Terima kasih banyak semuanya! Aku tak tahu harus berbuat apa untuk membalas semua kebaikan kalian. Sekali lagi, terima kasih semuanya! Terima kasih!”

Kini, Kiza telah punya harapan baru untuk menjalani hari-harinya. Ia tak akan sendiri lagi karena ada teman-teman yang akan selalu setia mendampinginya.

Jumat, 19 Juni 2009


PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG DIRI

Oleh : Rosmen

Pertama kali aku bertemu denganya adalah di tempat foto kopian dekat sekolahku. Ketika aku datang, ia suah berada disana bersama dua tumpuk kertas foto kopian yang ada di depannya.

Saat itu ia mengenakan seragam sekolah putih abu dengan tas punggung berwarna putih yang menempel di punggungnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai begitu saja sehingga wajahnya yang ayu terlihat semakin femini. Rasanya kedua mataku mau terbelalak keluar. Sungguh gadis ini sangat mempesona !

Awalnya aku agak malu juga untuk mengawali pembicaraan denganya ,tapi tiba-tiba saja mulut ini langsung bicara begitu saja.

“Udah moto kopi ya ?” sapaku padanya agak gugup.

Ia tersenyum ke arahku sambil mengangguk. Tak sengaja kedua mata kami saling berpapasan. Aku pun menjadi tambah malu saja. Segera kualihkan pandanganku darinya.

“Udah moto kopi apa ?” tanyaku.

Ia tak bicara. Ia hanya menunjukan kepadaku dua kertas selebaran di kertas buram berwarna hijau yang diambil dari tumpukan kertas yang sama yang ada di dekatnya.

Pada kertas pertama terdapat gambar karikatur seorang pria berdasi yang bertuliskan “Bapak Koruptor yang Buta dan Tuli.” Sedangkan pada kertas kedua terdapat tulisan besar yang berbunyi “Penuhilah janji anda ! Berikanlah hak-hak kami untuk sekolah dan menuntut ilmu !” Melihat kata-kata dalam kertas tersebut aku pir gadis ini mau berdemo. Memang tanggal l 2 Mei nanti direncanakan akan ada demo besar-besaran yang akan dilakukan oleh seluruh pelajar SMA yang ada di bandung. Rencananya aksi itu akan dilakukan di depan Gedung Sate.

Banyak juga teman-teman sekolahku yang akan ikut dalam aksi itu. Sebenarnya aku pun sempat diajak, tapi aku menolaknya. Kupikir semua aksi itu nantinya sia-sia saja karena tetap saja para pejabat itu tidak akan mendengar aspirasi kita.

“Kamu mau demo di Gedung Sate ya ?”

Ia kembali mengangguk sambil menghitung selebaran yang telah ia kopi. Setelah ia selesai menghitung, ia lalu memasukkan tumpukan selebaran itu ke dalam tasnya dan langsung meninggalkan tempat itu.

Tapi setelah beberapa langkah, ia kembali ke tempat foto kopian. Aku jadi semakin gugup.” Kenapa ia kembali lagi ?” pikirku dalam hati. Tiba-tiba ia memberikan dua carik selebaran dalam tasnya kepadaku. Aku pun menjadi salah tingkah. Aku tak tahu harus mengucapkan apa padanya. Setelah itu ia pun kembali pergi tak lupa sebelumnya ia sisakan ahulu senyum manisnya kepadaku.

* * *

Itulah pengalaman pertemuanku dengannya.Pertemuan itu terasa sangat berkesan hingga aku pun lupa untuk menanyakan siapa namanya. Aku pandang kedua selebaran yang ia beri kepadaku terutama sebebaran bergambar karikatur yang secara tak langsung menyindir diriku.

Bapak koruptor itu memang buta dan tuli, tapi mungkin aku lebih parah dari pada dia. Selain buta dan tuli, aku juga bisu. Aku buta karena aku pura-pura tak melihat kenyataan hidupku yang memprihatinkan. Hidupku tenggelam dalam kemiskinan tetapi aku hanya bisa terdiam dan membiarkan orang lain terus mempermainkan harga diriku. Harusnya aku ikut bersama mereka untuk memperjuangkan hakku. Aku tuli. Aku tak bisa mendengar suara hatiku sendiri. Suara hatiku hanya bisa kupendam dan kututupi. Selain itu aku pun bisu karena aku tak berani mengeluarkan aspirasiku sendiri. Sungguh paradoks memang

Entah kenapa ia berikan dua sebaran itu kepadaku. Mungkin ia adalah malaikat yang hendak menyadarkanku. Tapi apapuun alasannya aku tetap tak peduli kare hasilnya pasti akan nihil juga. Entah apa aku ini mungkin aku penganut faham nihilisme yang dibawa oleh Josep Stalin karena aku selalu berpikiran sekeptis terhadap hidupku.

Gadis itu memang hebat ia tak hanya tak hanya cantik tapi ia juga mampu membuat sejumlah pertanyaan batin tentang diri.

Keesokan harinya aksi demo pun berlangsung. Tetapi aku malah tiduran di rumah sambil maklas-malasan. Hari itu memang sekolahku diliburkan. Meskipun begitu aku masih berharap kalau aksi demo itu berlangsung aman dan damai.

Hari berikutnya teman-teman ku di sekolah banyak yang menceritakan aksi unjuk rasa yang mereka lakukan kemarin. Tapi ternyata aksi unjuk rasa tersebut berlangsung anarkis karena tak ada anggota DPR/MPR yang mau keluar untuk menanggapi aksi mereka. Kerusuhan itu pun membuahkan korban nyawa seorang siswi. Gadis itu mati karena terlembar batu dari salah seorang penunjuk rasa. Firasatku pun menjadi buruk jangan-hjangan gadis yang mati itui adalah dia ! Tapi itu tak mungkin terjadi

Sorenya aku melihat tayangan dalam televisi mengenai aksi unjuk rasa yang dilakukan kemarin. Betapa terkejutnya aku sewaktu tahu kalau orang yang menjadi korban itu adalah gadis itu. Ya, gadis itu adalah dia. Nama gadis itu adalah Samara tenyata gadis ia adalah seorang tuna rungu. Entalah aku antara percaya dan tidak percaya. Kenapa mesti ia yang harus menjadi. Aku pun baru tahu kalau ternyata ia adalah seorang tunarungu. Sungguh ironi memang. Meskipun ia tahu keadaannya begitu tapi ia masih tetap berjuang memperjuangankan hak-haknya. Meskipun ia mempunyai kekurangan tetapi ia masih berusaha memempertahankan ekistensinya Lalu bagaimana dengan aku ? aku normal dan bisa mendengar tapi mengapa aku malah bersembunyi. Bisaku hanya merenungkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan tentang diri. Sebenarnya siapa aku ini ?

Bandung, 10 Mei 2008

Jumat, 12 Juni 2009

Cerpen "Gila"


GILA

Oleh :Rosmansyah

Aku adalah orang terbodoh yang pernah ada di dunia ini. Nyawa pernah kupertaruhkan hanya demi uang sepuluh juta rupiah. Aku nekat menjual ginjal kiriku ke sebuah rumah sakit swasta yang ada di kota Bandung. Parah memang. Tetapi, apa boleh buat, hanya itulah jalan terakhir yang harus kutempuh agar bisa tetap kuliah.

Dengan biaya seadanya, aku nekat kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. Kupikir semuanya itu mudah. Dalam kurun waktu 3 tahun sudah kutargetkan harus dapat lulus kuliah. Tetapi mimpi hanyalah mimpi. Aku harus menerima kenyataan aku tak bisa lulus kuliah karena masalah ekonomi. Pihak univesitas bilang, aku harus segera melunasi uang kuliahku kalau tidak aku bakal di Drop Out.

Masalahnya memang sangat begitu pelik. Jumlah uang yang harus dibayar tidaklah sedikit. Orang tuaku tidak sanggup membayar dan aku sendirilah yang harus membayarnya. Putus asa? Mungkin iya. Mungkin ini adalah akhir dari duniaku, pikirku waktu itu. Sepertinya tak ada jalan keluar yang dapat mengeluarkanku dari petaka ini.

Hingga pada suatu pagi, kulihat sebuah tayangan di televisi tentang seorang pria yang nekat menjual ginjalnya demi dapat melangsungkan pesta pernikahan dengan kekasihnya. Dari situlah terbesit suatu ide “sakit” dalam pikiranku. Bagaimana kalau aku juga jual ginjalku?

Pahit hidupku ini. Biarlah hanya aku, Tuhan dan rumah sakit yang tahu. Biarlah semua itu menjadi lembaran hitam dalam catatan hidupku yang akan kututup dan tak ‘kan kubuka lagi.

Tetapi nyatannya aku salah. Aku harus kembali mengorek luka lamaku. Beberapa waktu yang lalu, seorang pria paruh baya yang berkumis dan memakai pakaian serba hitam datang ke rumah kontrakkanku yang kumuh. Ia mengaku bernama Bima. Pak Bima adalah anak sulung Pak Winarta. Pak Winarta? Siapa pula dia? Ia bilang ayahnyalah yang menyuruhnya datang kesini. Pak Winarta sendiri adalah seorang pasien penderita gagal ginjal yang kebetulan ginjalnya cocok dengan ginjalku. Pihak rumah sakit terpaksa memberitahu identitasku karena Pak Winarta terus memaksa ingin bertemu denganku.

Sebenarnya aku bingung. Aku tak ingin lagi menginjakkan kaki di rumah sakit itu. Tapi di lain sisi aku juga kasihan dengan kakek tua itu. Lagi pula tak ada salahnya ‘kan kalau hanya sekedar menjenguk orang sakit.

***

Esok paginya, aku pergi ke rumah sakit. Di sana kususuri lagi lorong bisu yang memanjang mengucapkan “selamat datang kembali, pecundang!” Dinding putih nan kusam kembali menceritakan kisah pilu tentang permainanku dengan nyawa, waktu dan masa depanku.

Tiba-tiba lamunanku terbangun. Kudengar suara dari arah depan yang memanggil-manggil namaku. Kulayangkan pandanganku ke depan. Ternyata itu suara Pak Bima. Ia sedang duduk di depan kamar bernomor 22, sama dengan tanggal kelahiranku. Ia sedang ditemani oleh dua wanita berkerudung,wanita yang tua kerudungnya merah dan yang agak muda kuning.

“Assalamualaikum, Pak!” Maaf saya telat,”kataku. Saat itu aku memang agak sdikit telat karena angkot yang kunaiki ngetem dulu di jalan.

“Ah, tak apa kok. Oh ya, kenalkan ini Isma isteri saya dan ini Bu Sumi ibu saya.”

Mereka tersenyum kepadaku. Kami bertiga saling bersalaman. 2 wanita berbeda generasi itu tampaknya ramah. Kulihat hal itu dari raut wajah mereka yang terlihat begitu anggun menyapa.

“Kita langsung masuk aja yuk ! Kayanya Bapak udah nunggu,”

Kami semua masuk seraya meucapkan salam.di kamar bercat putih itu, kulihat seorang kakek tua sedang berbaring di atas tempat tidur. Disampingnya ada seorang wanita berkacamata yang sedang duduk menemaninya.

“Pak, ini nak Ardi sudah datang,” kata Pak Bima.

Kakek tua dan wanita itu menoleh ke arahku.

“Ini Pak Winarta ayah saya dan itu Ita adik saya.”

Kakek tua dan wanita itu tersenyum kepadaku. Kelihatannya mereka juga orang yang ramah.

“Ya sudah, kami tinggal dulu kalian disini. Kami mau keluar sebentar. Silakan nak Ardi duduk, ngobrol-ngobrol dulu dengan bapak,” kata Bu Ita sambil bangkit dari kursinya.

Aku pun duduk sedangkan mereka pergi keluar. Di kamar itu hanya tersisa aku, Pak Winarta dan rangkaian bunga sedap malam yang sudah mulai layu.

“Ternyata kamu masih sangat muda ya. Bapak tak menyangka di dunia ini masih ada pemuda yang dermawam seperti kamu. Sebenarnya apa yang mendorongmu untuk mendonorkan gilalmu itu anak muda?”

“Sebenarnya agak kurang pas juga bila saya dibilang mendonorkan ginjal itu.”

“Lo, emangnya kenapa?”

“Sebenarnya saya menjualnya Pak.”

“Menjualnya? Emangnya sekarang ada ya bisnis yang kaya gitu?”

“Nggak Pak. Saya hanya terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa? Maksud kamu apa toh?”

“Saaya butuh uang Pak. Saya butuh uang buat bayar kuliah.”

“O…ternyata kamu mahasiswa ya. Memang sekolah sekarang ini mahal sekali ya. Tapi bapak tak menyangka kalau kamu bisa senekat itu.”

Beliau menggeleng kepala. Beliau agak kaget mendengar perkataanku. Aku ini memang bodoh, malah kubuka rahasiaku sendiri.

“Emangnya jurusan kuliah kamu apa?”

“jurusan hukum Pak.”

Tiba-tiba ia terdiam. Aku seperti telah mengucapkan mantera sakti untuknya.

“Hukum itu memang pelik ya,” katanya menjadi agak serius.

Aku mengangguk-angguk mengerti.

Dulu waktu bapak masih muda, bapak sempat dipenjara selama 3 tahun karena dituduh masuk PKI. Padahal Demi Allah! Bapak bukan PKI,” lanjutnya, agak sedikitemosi. ”Dulu sebelum ditahan, bapak sempat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik rokok. Tapi setelah bapak ditahan, bapak jadi menanggur. Tak adil. Bapak sangat putus asa. Rasanya ingin mati saja.”

“Ingin mati? Waduh serem juga ya.”

“Ya begitulah, tapi untungnya bapak sadar. Bapak tak boleh menyerah. Bapak bukanlah orang cengeng yang bisanya nangis saja.”

“Wah bapak hebat ! Kalau saya mungkin udah gila.”

“Lo, kenapa kamu bilang gitu? Bukankah sekarang juga kamu udah gila. Kalau waras, mana ada orang yang mau ginjalnya sendiri ha…ha…ha…”

Kami berdua tertawa. Entah aku yang bodoh atau dia. Saat itu kami seperti menertawakan diri kami sendiri.

Pertemuan kami yang pertama kalinya itu memang terasa begitu berkesan. Meskipun kami baru pertama kali bertemu, tetapi kami sudah tampak begitu akrab. Kami banyak saling bercerita tentang duka. Mungkin karena kami memang berasal dari spesies yang sama, yaitu sama-sama manusia yang pernah “sakit”.

Kudoa’kan beliau agar berhasil dalam operasinya. Supaya kami bisa lebih banyak lagi saling bercerita.

Tetapi agaknya aku terlalu banyak berharap. Dua minggu setelah pertemuan itu Pak Bima datang lagi ke rumah kontrakkanku. Ia mengabarkan kabar buruk bahwa ayahnya telah gagal operasi. Sistem imun tubuhnya terlalu kuat. Sistem imunnya mengenali ginjal donor yang akan dicangkokkan sebagai benda asing. Sehingga tubuhnya menolak ginjal tersebut.

Kondisi kesehatannya pun semakin memburuk. Beliau bahkan telah divonis dokter kalau umurnya tak ‘kan lama lagi. Tetapi anehnya, ia malah sudah dipulangkan. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Apa ia ingin mati?

Mendengar kabar buruk itu, aku langsung ikut Pak Bima pergi ke rumahnya. Setiba di rumah beliau,hatiku terasa tentram.Seisi rumah itu dihiasi barang-barang antik. Ada jam bandul, lemari tua dan foto-foto tempo dulu yang tersenyum lugu kepadaku. Jika diperhatikan, isi rumahnya tampak seperti museum yang menceritakan sejarah hidup Pak Winarta.

Aku dan Pak Bima masuk ke dalam kamarnya. Aku tak kuasa ketika melihatnya sedang terbaring lemas. Tubuhnya tampak lebih kurus dari kemarin. begitu pula dengan rambutnya, yang tampak lebih beruban.

Aku berdiri disamping kanannya. Aku tak kuasa begitu melihatnya. Di sebelah kirinya ada anak, menantu dan cucu-cucu beliau yang setia menemani.

“Pak, kenapa bapak lakukan ini? bukankah bapak pernah bilang kalau bapak tidak boleh menyerah. Lalu ada apa dengan bapak sekarang ini?”

“Bapak tak menyerah Di. Bapak tak ‘kan pernah menyerah. Bapak bahkan ingin hidup lebih lama, lebih lama lagi.”

“Lalu kenapa Pak?” tanyaku agak kesal.

Ia terdiam. Ia lalu layangkan pandangannya keluar jendela.

“Memang pilihan bapak ini agak gila. Dulu bapak sangat kaget waktu kamu bilang kamu menjual ginjalmu. Dan kini sebaliknya, kulihat kamu terkejut dengan perbuatan bapak. Kita ini sama Di. Kita ini sama ha… ha…ha…”

Tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti. Ia memang gila. Ia masih bisa tertawa keras meskipun ia sendiri tahu kalau ia akan mati beberapa bulan, minggu, hari bahkan beberapa jam, menit dan detik setelah ini.