Jumat, 12 Juni 2009

Cerpen "Gila"


GILA

Oleh :Rosmansyah

Aku adalah orang terbodoh yang pernah ada di dunia ini. Nyawa pernah kupertaruhkan hanya demi uang sepuluh juta rupiah. Aku nekat menjual ginjal kiriku ke sebuah rumah sakit swasta yang ada di kota Bandung. Parah memang. Tetapi, apa boleh buat, hanya itulah jalan terakhir yang harus kutempuh agar bisa tetap kuliah.

Dengan biaya seadanya, aku nekat kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. Kupikir semuanya itu mudah. Dalam kurun waktu 3 tahun sudah kutargetkan harus dapat lulus kuliah. Tetapi mimpi hanyalah mimpi. Aku harus menerima kenyataan aku tak bisa lulus kuliah karena masalah ekonomi. Pihak univesitas bilang, aku harus segera melunasi uang kuliahku kalau tidak aku bakal di Drop Out.

Masalahnya memang sangat begitu pelik. Jumlah uang yang harus dibayar tidaklah sedikit. Orang tuaku tidak sanggup membayar dan aku sendirilah yang harus membayarnya. Putus asa? Mungkin iya. Mungkin ini adalah akhir dari duniaku, pikirku waktu itu. Sepertinya tak ada jalan keluar yang dapat mengeluarkanku dari petaka ini.

Hingga pada suatu pagi, kulihat sebuah tayangan di televisi tentang seorang pria yang nekat menjual ginjalnya demi dapat melangsungkan pesta pernikahan dengan kekasihnya. Dari situlah terbesit suatu ide “sakit” dalam pikiranku. Bagaimana kalau aku juga jual ginjalku?

Pahit hidupku ini. Biarlah hanya aku, Tuhan dan rumah sakit yang tahu. Biarlah semua itu menjadi lembaran hitam dalam catatan hidupku yang akan kututup dan tak ‘kan kubuka lagi.

Tetapi nyatannya aku salah. Aku harus kembali mengorek luka lamaku. Beberapa waktu yang lalu, seorang pria paruh baya yang berkumis dan memakai pakaian serba hitam datang ke rumah kontrakkanku yang kumuh. Ia mengaku bernama Bima. Pak Bima adalah anak sulung Pak Winarta. Pak Winarta? Siapa pula dia? Ia bilang ayahnyalah yang menyuruhnya datang kesini. Pak Winarta sendiri adalah seorang pasien penderita gagal ginjal yang kebetulan ginjalnya cocok dengan ginjalku. Pihak rumah sakit terpaksa memberitahu identitasku karena Pak Winarta terus memaksa ingin bertemu denganku.

Sebenarnya aku bingung. Aku tak ingin lagi menginjakkan kaki di rumah sakit itu. Tapi di lain sisi aku juga kasihan dengan kakek tua itu. Lagi pula tak ada salahnya ‘kan kalau hanya sekedar menjenguk orang sakit.

***

Esok paginya, aku pergi ke rumah sakit. Di sana kususuri lagi lorong bisu yang memanjang mengucapkan “selamat datang kembali, pecundang!” Dinding putih nan kusam kembali menceritakan kisah pilu tentang permainanku dengan nyawa, waktu dan masa depanku.

Tiba-tiba lamunanku terbangun. Kudengar suara dari arah depan yang memanggil-manggil namaku. Kulayangkan pandanganku ke depan. Ternyata itu suara Pak Bima. Ia sedang duduk di depan kamar bernomor 22, sama dengan tanggal kelahiranku. Ia sedang ditemani oleh dua wanita berkerudung,wanita yang tua kerudungnya merah dan yang agak muda kuning.

“Assalamualaikum, Pak!” Maaf saya telat,”kataku. Saat itu aku memang agak sdikit telat karena angkot yang kunaiki ngetem dulu di jalan.

“Ah, tak apa kok. Oh ya, kenalkan ini Isma isteri saya dan ini Bu Sumi ibu saya.”

Mereka tersenyum kepadaku. Kami bertiga saling bersalaman. 2 wanita berbeda generasi itu tampaknya ramah. Kulihat hal itu dari raut wajah mereka yang terlihat begitu anggun menyapa.

“Kita langsung masuk aja yuk ! Kayanya Bapak udah nunggu,”

Kami semua masuk seraya meucapkan salam.di kamar bercat putih itu, kulihat seorang kakek tua sedang berbaring di atas tempat tidur. Disampingnya ada seorang wanita berkacamata yang sedang duduk menemaninya.

“Pak, ini nak Ardi sudah datang,” kata Pak Bima.

Kakek tua dan wanita itu menoleh ke arahku.

“Ini Pak Winarta ayah saya dan itu Ita adik saya.”

Kakek tua dan wanita itu tersenyum kepadaku. Kelihatannya mereka juga orang yang ramah.

“Ya sudah, kami tinggal dulu kalian disini. Kami mau keluar sebentar. Silakan nak Ardi duduk, ngobrol-ngobrol dulu dengan bapak,” kata Bu Ita sambil bangkit dari kursinya.

Aku pun duduk sedangkan mereka pergi keluar. Di kamar itu hanya tersisa aku, Pak Winarta dan rangkaian bunga sedap malam yang sudah mulai layu.

“Ternyata kamu masih sangat muda ya. Bapak tak menyangka di dunia ini masih ada pemuda yang dermawam seperti kamu. Sebenarnya apa yang mendorongmu untuk mendonorkan gilalmu itu anak muda?”

“Sebenarnya agak kurang pas juga bila saya dibilang mendonorkan ginjal itu.”

“Lo, emangnya kenapa?”

“Sebenarnya saya menjualnya Pak.”

“Menjualnya? Emangnya sekarang ada ya bisnis yang kaya gitu?”

“Nggak Pak. Saya hanya terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa? Maksud kamu apa toh?”

“Saaya butuh uang Pak. Saya butuh uang buat bayar kuliah.”

“O…ternyata kamu mahasiswa ya. Memang sekolah sekarang ini mahal sekali ya. Tapi bapak tak menyangka kalau kamu bisa senekat itu.”

Beliau menggeleng kepala. Beliau agak kaget mendengar perkataanku. Aku ini memang bodoh, malah kubuka rahasiaku sendiri.

“Emangnya jurusan kuliah kamu apa?”

“jurusan hukum Pak.”

Tiba-tiba ia terdiam. Aku seperti telah mengucapkan mantera sakti untuknya.

“Hukum itu memang pelik ya,” katanya menjadi agak serius.

Aku mengangguk-angguk mengerti.

Dulu waktu bapak masih muda, bapak sempat dipenjara selama 3 tahun karena dituduh masuk PKI. Padahal Demi Allah! Bapak bukan PKI,” lanjutnya, agak sedikitemosi. ”Dulu sebelum ditahan, bapak sempat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik rokok. Tapi setelah bapak ditahan, bapak jadi menanggur. Tak adil. Bapak sangat putus asa. Rasanya ingin mati saja.”

“Ingin mati? Waduh serem juga ya.”

“Ya begitulah, tapi untungnya bapak sadar. Bapak tak boleh menyerah. Bapak bukanlah orang cengeng yang bisanya nangis saja.”

“Wah bapak hebat ! Kalau saya mungkin udah gila.”

“Lo, kenapa kamu bilang gitu? Bukankah sekarang juga kamu udah gila. Kalau waras, mana ada orang yang mau ginjalnya sendiri ha…ha…ha…”

Kami berdua tertawa. Entah aku yang bodoh atau dia. Saat itu kami seperti menertawakan diri kami sendiri.

Pertemuan kami yang pertama kalinya itu memang terasa begitu berkesan. Meskipun kami baru pertama kali bertemu, tetapi kami sudah tampak begitu akrab. Kami banyak saling bercerita tentang duka. Mungkin karena kami memang berasal dari spesies yang sama, yaitu sama-sama manusia yang pernah “sakit”.

Kudoa’kan beliau agar berhasil dalam operasinya. Supaya kami bisa lebih banyak lagi saling bercerita.

Tetapi agaknya aku terlalu banyak berharap. Dua minggu setelah pertemuan itu Pak Bima datang lagi ke rumah kontrakkanku. Ia mengabarkan kabar buruk bahwa ayahnya telah gagal operasi. Sistem imun tubuhnya terlalu kuat. Sistem imunnya mengenali ginjal donor yang akan dicangkokkan sebagai benda asing. Sehingga tubuhnya menolak ginjal tersebut.

Kondisi kesehatannya pun semakin memburuk. Beliau bahkan telah divonis dokter kalau umurnya tak ‘kan lama lagi. Tetapi anehnya, ia malah sudah dipulangkan. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Apa ia ingin mati?

Mendengar kabar buruk itu, aku langsung ikut Pak Bima pergi ke rumahnya. Setiba di rumah beliau,hatiku terasa tentram.Seisi rumah itu dihiasi barang-barang antik. Ada jam bandul, lemari tua dan foto-foto tempo dulu yang tersenyum lugu kepadaku. Jika diperhatikan, isi rumahnya tampak seperti museum yang menceritakan sejarah hidup Pak Winarta.

Aku dan Pak Bima masuk ke dalam kamarnya. Aku tak kuasa ketika melihatnya sedang terbaring lemas. Tubuhnya tampak lebih kurus dari kemarin. begitu pula dengan rambutnya, yang tampak lebih beruban.

Aku berdiri disamping kanannya. Aku tak kuasa begitu melihatnya. Di sebelah kirinya ada anak, menantu dan cucu-cucu beliau yang setia menemani.

“Pak, kenapa bapak lakukan ini? bukankah bapak pernah bilang kalau bapak tidak boleh menyerah. Lalu ada apa dengan bapak sekarang ini?”

“Bapak tak menyerah Di. Bapak tak ‘kan pernah menyerah. Bapak bahkan ingin hidup lebih lama, lebih lama lagi.”

“Lalu kenapa Pak?” tanyaku agak kesal.

Ia terdiam. Ia lalu layangkan pandangannya keluar jendela.

“Memang pilihan bapak ini agak gila. Dulu bapak sangat kaget waktu kamu bilang kamu menjual ginjalmu. Dan kini sebaliknya, kulihat kamu terkejut dengan perbuatan bapak. Kita ini sama Di. Kita ini sama ha… ha…ha…”

Tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti. Ia memang gila. Ia masih bisa tertawa keras meskipun ia sendiri tahu kalau ia akan mati beberapa bulan, minggu, hari bahkan beberapa jam, menit dan detik setelah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar