Minggu, 01 Agustus 2010

Di Balik Selimut Fatamorgana


Oleh: Rosmen

Aku terbangun dari lelap tidurku. Hanya secuil celana dalam bergambar Lady Gaga yang membungkus tubuh. Jangan tanyakan darimana aku mendapatkannya. Itu pemberian ayahku. Yang kuingat, ayah juga punya satu yang berwarna ungu.

Kurasa masih terlalu dini untuk mengucapkan selamat pagi. Jarum jam masih tertahan di angka 1.30 malam. Sepertinya secuil celana dalam takkan mampu menangkal dingin yang merajam tubuh. Segera kupakai sehelai celana boxer dan kaus oblong putih bergambar simpanse. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju dapur. Tenggorokanku butuh percikan embun. Aku ingin minum.

Suasana ruang tengah begitu gelap gulita seperti liang lahat. Ya, kata orang liang lahat seperti itu. Jangan tanyakan aku kebenarannya karena aku belum berencana pergi ke sana.

Sesaat sebelum kaki menginjak lantai dapur, tiba-tiba terdengar samar-samar suara obrolan dari arah kamar ayah ibu. Pintu kamar mereka sedikit terbuka. Kenapa ayah ibu masih terjaga? Apa mereka belum tuntas bersenggama ria? Hus, dasar anak durhaka! Itu urusan orang tua. Aku tak berhak mensortir keintiman mereka.

Tapi, obrolan samar itu terlanjur menggelitik kuping. Kubiarkan Tenggorokanku kering kerontang sejenak. Segera kubuka pintu kamar mereka lebih lebar.

“Ayo ke sini, Nak!” ucap Ibu melemparkan pandangannya ke arahku.

“Di luar dingin, ayo temani Ayah Ibu di sini!” tambah Ayah sambil menepuk-nepuk bantal mengisyaratkanku untuk ikut bersua bersama mereka.

Aku berdiri terdiam. Tidak, aku sudah dewasa. Aku telah melewati masa ekstra pubertas remaja. Aku tak pantas berninabobo lagi di singgasana mereka.

Tapi, bukankah aku terlahir dari sari-sari genetik mereka. Di singgasana ini aku tercipta, dari bulir-bulir sperma dan ovarium bunda. Erotisme malam mulai membisikkan asmanya. Mungkin tak apa bila aku sesekali terlelap bersama mereka.

Kubuang logika, kubiarkan insting bicara. Tak terasa kudapati tubuhku telah terselip di antara mereka, di balik selimut berwarna kuning jingga. Mereka merapatkan tubuh. Memelukku erat seperti bayi usia belia. Tapi, kenapa tubuh kalian begitu dingin? Kenapa pelukan kalian begitu beku?

Mataku terbuka. Embun pagi basah mencium keningku. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku segera bangun berlinang mimpi sisa semalam. Mimpi aneh tadi masih menggelitik hati. Sejuta intuisi menggerayami. Aku segera menuju kamar ayah ibu untuk memastikan diri. Apa mereka masih tertidur nyenyak?

Ups, ternyata benar. Mereka masih terlelap. Kudekati mereka lebih intim. Kusentuh tangan ibu yang menggelayun ke bawah ranjang. Ibu, kenapa tanganmu begitu keras dan dingin? Kutatap pula kedua wajah mereka. Kenapa wajah kalian begitu pucat? Ayah Ibu, buka mata kalian! Bangunlah! Jangan tinggalkan aku sendirian!


Minggu, 25 Juli 2010

Gara-gara Bakso

Oleh: Rosmansyah

Sehabis bermain, Obi tidak pernah melewatkan makan mie bakso kesukaannya. Begitulah kebiasaannya setiap sore. Bakso Abang Romli, begitulah orang-orang memanggilnya. Setiap pukul empat sore, gerobaknya sudah mangkal di depan rumah Obi. Anak-anak, remaja, orang dewasa sampai kakek nenek yang sudah renta mengantri, mereka semua ketagihan bakso Abang Romli.

Setelah bermain sepak bola bersama teman-temannya, Obi kecapekan. Meskipun melelahkan, tetapi bermain sepak bola itu sangat menyenangkan. Bentuk bola yang bulat mengingatkan Obi pada bakso Abang Romli yang super lezat. Bayang-bayang bakso sudah memenuhi kepalanya. Obi segera pulang. Ia tidak sabar lagi ingin segera menyantap makanan favoritnya itu.

"Mudah-mudahan Abang Romli sudah ada di depan rumah," harap Obi dalam hati.

Harapan Obi terkabul. Gerobak Abang Romli sudah nangkring di depan rumahnya. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung berlari ke rumah merengek meminta uang pada ibu. Setelah diberi uang, ia pun segera meluncur menuju gerobak Abang Romli.

"Bang, mie baksonya satu porsi ya!" seru Obi sambil menyodorkan mangkuk favoritnya yang bergambar Spongebob.

"Iya," jawab Abang Romli. "Mau pakai pedas tidak?"

"Tidak ah, takut sakit perut."

"Ya sudah, ini mie baksonya."

Semangkuk mie bakso sudah di tangan. Obi segera melangkahkan kakinya menuju rumah, tetapi sebelum menginjak langkah ketiga, Abang Romli keburu memanggilnya.

"Ada apa, Bang?" tanya Obi heran.

"Ke sini, Abang tambahkan lagi baksonya!" seru Abang Romli sambil memberikan sebutir bakso berukuran besar ke mangkuk Obi.

"Wah, terima kasih ya Bang!"

"Sama-sama."

Obi senang sekali. Abang Romli memang baik hati. Aroma bakso sudah menggoda lidahnya. Ia ingin buru-buru segera melahapnya.

Sesampainya di rumah, Obi langsung santap bakso itu dengan lahap. Saking lahapnya, sampai-sampai ia lupa berdoa. Dasar Obi. Padahal, berdoa sebelum makan itu penting sekali!

"Wuih, sedaap! Bakso Abang Romli memang tidak ada tandingannya. Maknyuss...!" gumam Obi bicara sendiri mengikuti gaya pembawa acara kuliner favoritnya.

Ketika sedang asyik menyantap bakso, tiba-tiba Vina, adik Obi yang baru bangun tidur siang menangis. Ibu yang sedang memasak di dapur segera bergegas menggendongnya.

"Bu, aku mau bakso!" pinta Vina begitu melihat kakaknya sedang lahap menyantap bakso.

"Iya, Ibu akan belikan." Ibu segera mengambil mangkuk hendak membelikannya bakso. Tetapi sayang, bakso Abang Romli sudah habis. Tangisan Vina semakin menjadi. Ibu tidak tahu harus berbuat apa.

"Baksonya minta ke kakakmu saja ya!" ucap Ibu mencoba meredakan tangis Vina. Mendengar ucapan Ibu, Obi langsung bergegas ke dapur mengambil sebotol sambal pedas. Lalu, ia campurkan beberapa tetes sambal itu ke baksonya.

"Tidak mau. Aku tidak mau berbagi bakso dengan Vina! Enak saja, ini kan baksoku!" gerutu Obi dalam hati.

"Obi, Vina minta sedikit baksonya ya! " pinta Ibu lembut.

"Aduh, bakso punya Obi pedas Bu! Vina pasti tidak akan tahan!" sergah Obi menolak permintaan Ibu.

Siasat Obi berhasil. Tangisan Vina semakin sulit berhenti. Dan Obi semakin tambah lahap menghabiskan baksonya.

Keesokan harinya, Obi merasa tidak enak badan. Perutnya sakit sekali. Entah berapa kali ia keluar masuk WC. Perutnya mulas minta ampun. Karena saking mulasnya, ia pun terpaksa tidak masuk sekolah. Sayang sekali, padahal hari ini kan ada ulangan Bahasa Indonesia.

Ibu mulai khawatir dengan kesehatan Obi yang belum juga membaik. Ia pun segera memanggilkan dokter untuk memeriksanya.

"Kamu kebanyakan makan pedas," kata Dokter sambil memeriksa lidah Obi yang tampak pucat dengan senter. "Ini obatnya. Nanti diminum ya!"

Obat? Aduh, Obi kan benci sekali dengan obat! Gara-gara makan bakso kepedasan, ia jadi harus minum obat. Huh, sebal!

Obi menyesal. Ia merasa bersalah pada Ibu dan vina. Ia pun segera meminta maaf.

"Maafkan Obi ya, Bu!"

"Iya, tidak apa-apa. Ibu bangga kamu sudah jujur pada Ibu. Tetapi, lain kali jangan seperti itu lagi ya! Kamu harus mau berbagi dengan orang lain. Berbagi itu menyenangkan lho! " ucap Ibu menasihati Obi.

Erica Papaya


Oleh: Rosmansyah

Erica melongo. Matanya tak berkedip. Mulut, lidah dan tenggorokannya bergerak-gerak menelan air liur. Cewek berambut panjang itu duduk manis di sofa menonton acara masak-memasak favoritnya yang tayang setiap hari Minggu pagi.

"Ini dia Choco Brown Cake ala Chef Fadel!" seru Chef Fadel sambil menyajikan cake berlumur cokelat yang baru dibuatnya. Cake-nya memang bikin ngiler. Tapi kalau buat Erica, chef-nya yang justru bikin lebih ngiler.

"Uh... Chef Fadel cute banget sih!" gumam Erica ngomong sendiri.

"Pemirsa, saya punya pengumuman penting buat anda yang suka bikin resep masakan di rumah. Kirim resep anda ke alamat e-mail di bawah ini. Bagi anda yang resepnya terpilih, maka saya akan undang anda untuk masak berdua di sini bareng saya dan anda pun berhak mendapat uang tunai Rp 500.000 serta buku resep masak yang sudah ditandatangani oleh saya. Ayo, buruan kirim resepnya! Saya tunggu loh!"

Erica segera mencatat alamat e-mail yang tertera di layar kaca. Masak bareng Chef Fadel? Erica jelas pengen banget. Kesempatan emas kayak gini nggak boleh disia-siain gitu aja. Kapan lagi coba bisa masak berdua bareng chef terkenal kayak dia. Temen-temen Erica pasti bakalan ngiri tuh!

"Oke pemirsa, tak terasa sudah 30 menit saya menemani anda. Tiga resep unik sudah saya sajikan spesial buat anda. Kini tiba saatnya saya untuk undur diri. Sampai jumpa di Fadelicious minggu depan! Daaah....!"

Begitu acara itu selesai, otak Erica langsung berputar. Ia coba mencari resep dari tabloid dan majalah yang ada di depannya. Tapi, resepnya pada susah semua. Ia harus mencari resep yang unik, praktis dan yang pasti harus bisa menggoyang lidah bukan goyang ngebor atau goyang gergaji.

Lagu Telephone-nya Lady Gaga tiba-tiba berdering membangunkannya. Siapa sih yang nelpon, ganggu banget deh!

"Halo!" ucap seseorang dari seberang sana.

"Iya, ada apa Lan?" jawab Erica cemberut. Tapi dalam sekejap, senyumnya merekah. Lampu-lampu pijar bagai menerangi otaknya. Orlan kan pinter masak. Dia ketua ekskul tata boga. Dia pasti bisa bantuin Erica. "Kebetulan banget, Lan!"

"Kebetulan gimana?" tanya Orlan bingung.

"Bantuin gue masak ya!"

"Masak?"

"Iya, masak!"

"Apa gue nggak salah denger? Tumben lo mau masak?"

"Gue mau ikutan kompetisi bikin resep biar bisa masak bareng Chef Fadel."

"Chef Fadel yang suka nongol di TV itu?"

"Iya, bener banget. Bantuin gue ya, Lan! Pliss..."

"Iya deh gue bantuin."

"Thanks ya, sekarang lo langsung ke rumah gue aja!"

"Sekarang?"

"Iya sekarang. Kenapa? Emang nggak bisa? Betewe, elo nelpon gue mau ngomongin apaan?"

"Apaan ya? Gue lupa."

"Dasar, pokoknya gue tunggu ya!"

****

Ting...tong...ting...tooong.... bunyi bel pintu depan terdengar begitu nyaring. Erica segera beranjak dari sofa empuknya. Ia buka pintu. Sesosok cowok jangkung berkacamata yang tengah mengenakan T-shirt warna oranye sudah berdiri di depannya.

“Langsung ke dapur aja yuk!” ajak Erica.

Furnitur kitchen set berwarna serba silver langsung menyambut mereka. Semua benar-benar bersih. Nggak ada setitik noda pun yang terlihat.

"Jadi, kita mau masak apa, Lan?"

Orlan mulai menarik simpul-simpul saraf otaknya. Ia ingat-ingat kembali resep-resep yang pernah dibikinnya. Pasta ayam lada hitam, kue lapis cokelat, strawberry pancake, semuanya pada ngebosenin. Ia lihat-lihat isi kulkas, tapi nggak ada bahan makanan yang bisa membangkitkan naluri memasaknya.

Setelah berpikir cukup lama, tiba-tiba pandangannya tertahan pada sebuah pohon pepaya yang terlihat dari jendela. Buahnya ranum bergelantungan. Insting memasaknya segera muncul.

"Ahaa, gue tau!" seru Orlan sambil langsung berlari keluar menuju pohon pepaya itu. Seett.... Orlan langsung melesat manjat pohon yang tingginya tidak seberapa itu.

"Eh... eh... mau ngapain lo, Lan?" seru Erica kaget ngeliat Orlan manjat-manjat kayak monyet.

"Ini dia bahan utamanya!" seru Orlan sambil loncat turun ke bawah. Sebuah pepaya berukuran besar yang kelihatannya masih setengah mateng sudah ditangannya.

"Hah, pepaya?"

“Iya pepaya! Dengan bahan ini kita akan bikin makanan yang supeer lezaat...”

Memasak pun segera dimulai. Orlan segera mengupas buah yang bernama latin Carica papaya itu. Ia buang bijinya. Dan dagingnya yang berwarna oranye dipotong-potong menyerupai dadu.

"Ca, tolong ambilin agar-agar, yoghourt sama gula!" seru Orlan. Gayanya kayak chef hotel bintang lima aja.

"Okey!" jawab Erica sambil langsung mengubek isi dapur mengambil bahan-bahan yang disebutin sama Orlan

"Tolong ambilin lagi cetakan kue sama kismis!"

Sesi mengaduk dimulai. Dengan cekatan, Orlan mulai menggunakan tangan ala chef-nya. Erica cuma bengong tanpa kontribusi berarti. Meja dapur disulap menjadi panggung hiburan gratis. Erica bagai penonton sirkus yang sedang takjub melihat atraksi akrobatik badut sirkus.

Setelah kalis, adonan lalu dimasukan ke dalam cetakan kue mangkuk yang bentuknya lucu-lucu. Setelah semua adonan dimasukan ke dalam cetakan, adonan lalu dikukus. Dan dalam waktu yang relatif singkat, hidangan sudah matang dan siap untuk diangkat.

"Puding pepayanya udah mateng!" seru Orlan sambil meletakan puding-puding itu ke piring.

" Gue nyicip donk!"

"Eits, tunggu dulu! Masukin ke kulkas dulu, baru siap disajiin. Sambil nunggu pudingnya dingin. Kita bikin garnish-nya dulu yuk!"

"Garnish? Apaan tuh?"

"Dasar oon, lo liat gue aja deh!"

Sirup stroberi, ceri, krim sama potongan pepaya yang sudah diiris kecil-kecil disiapkan. Semua dibentuk sedemikian rupa. Setelah pudingnya dingin, puding pun dihias layaknya seorang puteri. Dan dalam sekejap, puding siap disajikan.

Hap, Erica santap puding itu. Matanya berbinar. Pipinya langsung memerah.

"Emm... enak banget!"

"Siapa dulu donk yang bikinnya! Orlan gitu!"

"Betewe, nama resep ini apa Lan?"

"Apa ya?" Otak Orlan berputar. "Gimana kalo puding Erica Papaya?"

Uhuk... uhuk... Erica keselek batuk.

"Erica Papaya?"

"Iya, Erica Papaya. Gimana? Bagus nggak?"

"I... iya, bagus." Muka Erica langsung memerah. Nama itu sungguh unik dan indah. Erica tersanjung.

Erica Papaya sepakat menjadi nama resep masakan itu. Erica langsung menulis dan mengirimkannya ke alamat e-mail program Fadelicious. Mudah-mudahan aja resepnya bisa menang!

****

Selang 3 hari kemudian, Erica dihubungi pihak program Fadelicious. Resep Erica terpilih. Ia berhak menjadi bintang tamu di Fadelicious edisi minggu ini. Erica jelas seneng banget. Akhirnya mimpinya menjadi kenyataan.

Ia langsung sebarkan kabar gembira itu ke semua teman-temannya.Tak lupa, Orlan sang pahlawan yang membantu mewujudkan mimpinya pun ikut ia kabarkan.

Hari Minggu akhirnya tiba. Detik-detik paling menentukan dimulai. Erica bersolek. Wajahnya dipoles secemerlang Dian Sastro Wardoyo. Penampilannya disulap stylish kayak Agnes Monica. Sebentar lagi ia mau masuk TV!

Orlan udah janji akan menjemput untuk mengantarnya ke studio TV tempat acara Fadelicious disiarkan. Tapi setelah ditunggu hampir setengah jam, Orlan belum nongol juga. Erica mencoba menghubungi hapenya tapi nggak aktif.

Ketika sedang cemas menunggu, tiba-tiba hapenya berbunyi.

"Halo!" ucap seseorang. Suaranya terdengar berat kayak suara bapak-bapak. "Apa ini dengan Nak Erica?"

Begitu mendengarnya, suasana hati Erica langsung mendadak nggak enak.

“Iya, ini Erica. Ada apa ya, Om?”

"Ini dengan ayahnya Orlan. Orlan nggak bisa jemput kamu. Tadi dia kecelakaan.”

"Kecelakaan?"

Tut... tuut.....telepon terputus.

“Halo! Halo!” seru Erica panik. Tapi, nggak ada jawaban lagi.

****

Erica mempercepat langkahnya. Jantungnya berdetak kencang. Berbagai bayangan buruk mulai menghantui pikirannya. Setahu Erica, hanya ini satu-satunya rumah sakit yang paling dekat dengan lingkungan tempat tinggalnya. Mata Erica memelototi setiap orang-orang yang berlalu lalang di lobi rumah sakit itu.

“Erica!” ucap seseorang dari belakang. Ternyata itu Orlan. Ia sedang berjalan dipapah ayahnya dari arah telepon umum.

"Orlan!"

"Erica, kenapa lo kemari?"

"Lo nggak apa-apa kan?"

"Gue nggak apa-apa. Mending sekarang lo cepetan pergi ke studio, nanti lo telat!"

"Gue udah ngebatalinnya. Tadi gue udah ngehubungin pihak TV. Lagian kalo pergi juga percuma. Acaranya kan udah mulai."

Orlan terdiam. Ia merasa bersalah.

"Maafin gue ya, Ca. Gara-gara gue elo jadi batal masak bareng Chef Fadel."

"Ah, nggak apa-apa kok. Lagian gue belom siap. Gue masih harus banyak belajar."

"Dan untuk resep yang ketiga, saya akan bikin resep kiriman pemirsa yang terpilih. Nama resepnya Erica Papaya. Sayang sekali yang punya resep nggak bisa hadir di sini karena ada halangan. Tapi nggak apa, saya akan buatkan spesial resep ini buat dia," ucap Chef Fadel berceloteh dari layar TV 24 inchi yang nangkring di sudut kiri ruangan.

Erica dan Orlan saling menatap. Mereka tersenyum. Akhirnya resep mereka masuk TV.

****