Minggu, 05 Juli 2009

cerpen "Chimpanzee Kissing"


Chimpanzee Kissing

Oleh: Rosmansyah

Kiza sudah beberapa kali mengirim testi kayak gini di dinding Facebooknya Gavin, “Vin, kapan lo mo jengukin gue lagi? Gue bete banget nih sendirian mulu!”

Kiza mungkin akan marah karena sampai sekarang Gavin belum sempat membalas testimonialnya. Gavin memang lagi sibuk banget. Jangankan buat ngebalas testi orang lain, buat nulis status terbarunya aja ia belum sempet.

Gavin memang ingin sekali menjenguk Kiza yang saat ini tengah dirawat di rumah sakit. Tapi, mau gimana lagi? Tugas makalah tentang perilaku hewan primata yang tengah dikerjakannya telah menyita hampir seluruh waktu dan pikirannya. Otak Gavin rasanya mau pecah karena terus dicekoki oleh berbabagai jurnal penelitian aneh tentang orang utan, simpanse dan hewan-hewan sejenis lainnya yang dianggap Charles Darwin sebagai asal asul nenek moyang kita.

“Halo Za, gimana kabar lo? Elo baik-baik aja kan?” Gavin mencoba menyempatkan diri menelpon Kiza sore itu.

“Baik gimana? Gue bete banget nih! Katanya mau jenguk gue, tapi mana? Sampe sekarang kok belum nongol juga sih?”

“Sorry-sorry, gue lagi sibuk banget ngerjain tugas nih? Gue janji besok bakal dateng jengukin lo deh!”

“Sorry ya Vin, gue gak bisa bantuin lo. Padahal kan harusnya kita ngerjain tugas itu bareng-bareng!”

“Ah, udah deh Za! Nggak apa-apa! Lo istirahat aja deh!”

“Thanks ya, Vin. Lo udah bantuin gue.”

“Ah, gak apa-apa Za! Lagian, gue juga seneng ngelakuinnya kok!” Gavin mencoba nyenengin hati Kiza. Kiza terpaksa cuti kuliah karena sakit. Tugas akhir semester yang harusnya dikerjain sama mereka berdua, terpaksa harus diserahin semuanya sama Gavin.

“Betewe, besok lo beneran datang ya! Awas, jangan bo’ong!”

“Okey, deh Bos!”

“Ya udah, nelponnya udahan dulu ya! Ngerjain tugasnya yang bener, entar dimarahin dosen lho!”

“Iya-iya Bu Guru. Cerewet banget sih!”

“Ya udah, sampe jumpa besok ya! Bye Gavin!”

“Bye Kiza!”

* * *

Malam sudah semakin larut, tapi mata Gavin belum seret-seret juga. Mau nonton TV, acaranya gak ada yang rame. Mau nonton DVD, filmnya ngeboringin semua. Huh, daripada bete, akhirnya Gavin pun memilih untuk internetan aja! Malem-malem ngenet? Eits, jangan curiga dulu ya! Gavin gak akan buka situs yang aneh-aneh kok! Paling-paling cuma buka Facebook doank!

Dari Si Berry hitam manisnya, Gavin menuliskan status terbarunya, “Huh, gue gak bisa tidur nih! Insomnia is killing me!”

Gavin mencoba melihat status terbaru temen-temennya satu per satu. Wuih, ternyata banyak juga yang udah memperbaharui statusnya! Status mereka pada aneh-aneh. Ada yang lagi ngeronda lah, ada yang lagi clubbing lah, bahkan ada juga yang lagi asyik nongkrong sendirian di WC! Hehe, mereka ada-ada aja ya!

Dari sekian status yang ia baca, tiba-tiba matanya langsung tertahan pada sebuah status yang lumayan aneh untuk dilihat. Foto seorang gadis berkepala botak yang tengah tersenyum dalam status itu begitu menggoda pikirannya.

Dia bukan Britney Spears atau Sinead O’Connor. Dia bukan pula almarhum Sukma Ayu atau pun gadis cilik si pemeran Ronaldowati. Dia, ya Gavin mengenal gadis itu! Dia adalah Kiza! Ya Tuhan, apa yang terjadi pada Kiza? Kenapa ia membotaki kepalanya?

“Meski aku udah botak, tapi aku tetep cantik kan?” Itulah status terbaru yang ditulis Kiza 10 menit yang lalu.

Sepertinya Kiza memang tak punya pilihan lain selain memangkas habis rambutnya. Rambut indahnya yang dulu panjang tergerai, kini sudah tak terlihat lagi. Helai demi helai rambutnya semakin lama semakin rontok akibat sel kanker yang terus menggerogoti tubuhnya.

Tiga bulan yang lalu ia telah divonis dokter mengidap kanker otak. Salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh manusia itu telah menjadi problematika baru dalam hidupnya. Kiza harus meminum puluhan butir obat setiap harinya demi mengurangi rasa sakit yang terus menyerang tubuh mungilnya.

Ada yang baru ngebotakin rambutnya nih! Dibotakin ma siapa, Za? Tanya Gavin mengomentari status Kiza.

Setelah beberapa menit kemudian, Kiza pun membalas.

“Ma gue sendiri.”

“Yang bener, Za? Emang lo bisa gitu?”

“Ya, bisa donk! Britney Spears aja bisa, masa gue nggak sih!” Jawab Kiza menyombongkan diri.

“Okey-okey, gue percaya deh!”

“Gimana, bagus gak?”

“ Ya, lumayan. Btw, jam segini kok lo belum tidur sih?”

“Gue lagi gak bisa tidur nih! Lo sendiri, ngapain malem-malem fesbukan? Gak bisa tidur juga ya?”

“Iya nih, gue juga sama!”

“Malem udah larut banget nih! Udahan fesbukannya yuk!”

“Iya deh. Ya udah, met bobo aja ya!”

“Met bobo juga!”

Perbincangan di dunia maya pun berakhir. Mereka harus segera memejamkan mata untuk bermimpi indah sebelum fajar keburu datang membuka hari.

* * *

Gavin berdiri di depan sebuah pintu bernomor 13. Banyak orang yang bilang angka 13 itu sebagai angka penuh kesialan. Hal apa aja kalo berhubungan sama angka itu pasti dianggap angker. Bahkan karena saking angkernya, banyak judul film yang memakai daya magis angka tersebut sebagai daya pikat utamanya.

Untuk sebagian orang, angka 13 mungkin penuh misteri. Tapi, untuk sebagian lagi, angka 13 mungkin dapat membawa rizki. Well, Gavin datang kemari bukan buat ngomongin panjang lebar mengenai angka 13. Gavin datang kemari buat menjenguk seorang gadis yang sama sekali tak ada hubungannya dengan angka penuh nuansa mistis itu.

Gavin mengetuk pintu itu sampai tedengar suara dari dalam yang mempersilakannya masuk.

“Hai, Za!” Sapa cowok yang tengah mengenakan blue jeans dengan atasan kaos warna biru itu sambil membuka pintu bernomor super angker yang ada di depannya. Di balik pintu itu, ia lihat Kiza tengah terbaring di tempat tidurnya dengan mengenakan pakaian khas para pasien rumah sakit.

“Hai, Vin!” Balas Kiza sambil menyandarkan tubuhnya ke bantal.

Gavin menatap sesosok makhluk berkepala pelontos yang ada di depannya. Ia jadi teringat dengan sosok makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di film Independence Day. Kepalanya sama-sama bening tak berambut. Hanya saja, kalau makhluk yang ini jauh lebih cantik. Sangat jauh lebih cantik.

Wajah cantik Kiza memang tak pernah berubah. Meski penyakit ganas terus menggerogoti tubuhnya, tapi pesonanya tak pernah habis. Memang, pipinya yang dulu chubby kini terlihat lebih pirus. Begitu pun dengan kulitnya. Kulit wajahnya yang dulu putih merona, kini tampak lebih pucat. Tapi, semua itu tetap tak bisa mengubah wajah ayu Kiza yang memang udah cantik dari sananya.

“Liat! Ini buat lo, Za!” Ujar Gavin sambil menyerahkan sebuah boneka simpanse lucu yang tadi baru dibeli di toko favoritnya Kiza. Gavin dan Kiza memang punya kesukaan yang sama. Mahasiswa dan mahasiswi semester 1 jurusan Biologi itu sama-sama suka benda yang berbau monyet. Mungkin itu sebabnya Gavin dan Kiza memilih membuat makalah tentang hewan primata itu sebagai tugas akhir semester mereka.

“Wah, bonekanya lucu banget Vin! Makasih ya, Vin!”

“Iya, sama-sama. Entar malem lo harus tidur yang pules ya! Kan sekarang udah punya temen baru!” Ujar Gavin sambil duduk di samping Kiza.

“Iya deh hehe…”

“Bokap nyokap lo kemana, Za?” Tanya Gavin tiba-tiba.

“Bokap nyokap gue? Tanya Giza balik bingung. “Lo tau sendiri kan mereka tuh sibuk banget! Mereka mana ada waktu buat gue! Anaknya botak aja mereka gak tau!”

“Jadi, mereka belum tau lo botak?”

Kiza hanya mengangguk. Kasihan Kiza, ia harus berjuang melawan penyakitnya tanpa kehadiran kedua orang tua di sampingnya.

“Vin, rambut gue bakal tumbuh lagi gak ya?” Tanya Kiza dengan nada bicara melemah.

Sesaat, benak Gavin langsung tertegun mendengar pertanyaan Kiza.

“Ya…ya pasti lah! Kalo udah sembuh, rambut lo pasti bakal tumbuh lagi kok!” Jawab Gavin mencoba meyakinkannya.

“Sembuh?” Tanya Kiza semakin melemah. “Apa gue bakal bener-bener sembuh , Vin?”

“Ya pasti donk, Za! Elo pasti sembuh!”

“Tapi, gimana kalo gue gak bisa sembuh? Gimana kalo gue mati, Vin?”

“Kiza!!!” Sergah Gavin marah. “Elo bicara apa?”

Air mata perlahan jatuh membasahi pipi Kiza. Kedua tangan mungilnya mencoba menyeka, tapi air mata itu terus mengalir deras dari kedua mata sayunya.

Gavin sebenarnya sangat mengerti dengan perasaan Kiza. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ini sungguh menyebalkan. Gavin merasa sangat tak berguna. Ia merasa menjadi makhluk yang paling tak berguna di dunia.

Dengan naluri alamiahnya, tiba-tiba Gavin merangkul Kiza. Ia pun menciumi ubun-ubun gadis yang tengah menangis tersedu-sedu itu dengan lembut. Entahlah, saat itu Gavin jadi teringat dengan perilaku simpanse yang tengah dipelajarinya. Simpanse dan manusia memang punya cara yang sama buat menenangkan hati teman satu spesiesnya. Mereka memeluk dan mencium temannya yang sedang stres agar stres temannya itu jadi berkurang.

Evolusi memang sungguh menakjubkan. Meski Gavin bukan pendukung sepenuhnya teori itu, tapi ia menyadari teori itu sedikit ada benarnya juga. Teori evolusi memang penuh misteri. Masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan untuk membuktikan teori kontroversial ini.

Tangis Kiza terhenti. Tampaknya keberhasilan teori evolusi dapat sedikit dibuktikan dalam kondisi ini.

“Udah, lo jangan nangis lagi ya Za!” Ujar Gavin sambil mencoba menghapus air mata Kiza.

“I…iya, Vin.” Jawab Kiza tersipu malu. ia pun melepaskan pelukan Gavin.

Getar Blackberry Gavin tiba-tiba membuyarkan suasana haru di antara mereka. SMS yang langsung dibacanya segera merekahkan senyum di bibirnya.

“Oh, ya Za! Gue punya kejutan buat elo lho!”

“Kejutan apa, Vin?” Tanya Kiza penasaran.

“Bentar ya, gue mau keluar dulu.”

Gavin nongol keluar pintu sebentar. Sepertinya ia sedang memanggil seseorang di luar sana untuk masuk ke dalam. Dan ternyata bukan hanya seorang, tapi ada sekitar 10 orang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu.

“Hai, Kiza!” Sapa mereka. Di antara mereka tampak beberapa teman yang dikenal Kiza, tapi untuk selebihnya ia tak kenal.

“Mereka adalah kejutannya, Za,” ujar Gavin menunjukan mereka semua. “Mereka adalah temen-temen yang selalu ngedukung lo di Facebook. Mereka dateng kesini buat lo, Za!”

Kiza tak tahu harus bilang apa. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Ini sungguh luar biasa. Dan tiba-tiba, salah seorang lelaki di antara mereka maju mendekati Kiza.

“Ini untuk kamu, Za,” kata lelaki itu sambil menyerahkan sebuah rangkaian bunga yang cantik pada Kiza. “Semenjak kami baca ceritamu di Facebook 3 bulan yang lalu, semenjak itulah kami tak henti-hentinya mendukungmu.”

“Aku…aku tak tahu harus berkata apa. Ini sungguh indah teman-teman. Terima kasih!” Ucap Kiza terharu.

“Kamu tak perlu bilang apa-apa, Za! Kami sudah cukup senang bisa datang menjengukmu kemari.”

Kiza tersenyum sembari meneteskan air mata.

“Terima kasih banyak semuanya! Aku tak tahu harus berbuat apa untuk membalas semua kebaikan kalian. Sekali lagi, terima kasih semuanya! Terima kasih!”

Kini, Kiza telah punya harapan baru untuk menjalani hari-harinya. Ia tak akan sendiri lagi karena ada teman-teman yang akan selalu setia mendampinginya.