Selasa, 10 November 2009

47


47

Oleh: Rosmen

Kurasakan kerikil yang berjatuhan di wajahku. Pengap, itulah suasana yang kurasakan saat itu. Debu-debu berkeliaran mengganggu pernapasanku. Mulut dan hidungku terasa perih menahan debu-debu yang entah darimana asalnya itu.

Sunyi senyap, tak ada suara yang bisa kudengar. Tapi, sesaat kemudian kesunyian itu seketika pecah karena ada setetes air yang menetes di wajahku. Tetesannya terasa begitu dingin seakan langsung membekukan sekujur tubuhku.

Dapat kurasakan tubuhku sedang terbaring lemas. Kucoba gerakan kedua tanganku, tapi tak bisa. Kucoba gerakan pula kedua kakiku, tapi itu pun tak bisa. Sekujur tubuhku mati rasa. Tak ada satu pun bagian tubuhku yang bisa kugerakan.

Perlahan kucoba membuka mataku. Pelan-pelan kedua mataku terbuka. Tapi, tak ada satu pun yang bisa kulihat. Semuanya hitam, semuanya gelap gulita! Ada apa ini? Apa aku buta? Tempat apa ini? Ya Tuhan, apa aku sudah mati?

* * *

Siang itu, kota Padang tak secerah biasanya. Awan yang mulai mendung tampak menutupi sebagian langit kota. Tapi, hal itu tetap tak menyurutkan langkahku dan Anira untuk tetap jalan-jalan mengubek-ngubek isi kota Padang yang terkenal sangat eksotis itu. Justru karena langit yang sedang mendung itu, kami jadi bisa keluyuran sepuasnya tanpa perlu pake sunblock yang super tebal.

“Huh capek, istirahat dulu yuk, Fam! Kaki gue udah pegel nih!” keluh Anira yang emang kelihatan capek banget. Keringat mengalir deras dari dahinya.

“Ya udah, kita istrahat dulu aja deh! Perut gue juga udah keroncongan nih, kita cari makan yuk!” ujarku sambil mengusap-ngusap perutku yang udah hampir 6 jam nggak keisi.

Setelah nyari kesana kemari, akhirnya kami menemukan sebuah rumah makan yang namanya cukup unik. Nama rumah makannya Kadeudeuh Minang. Kata ’Kadeudeuh’ dalam bahasa Sunda artinya pacar, kekasih atau orang yang disayang. Agak aneh juga ya, bahasa Sunda dipadukan dengan Minang. Jadi penasaran, gimana rasa masakannya ya?

Jajaran menu di rumah makan itu emang nggak biasa ditemuin di kota Padang. Bayangin aja, kok bisa-bisanya sih tahu Sumedang bisa nyampe ke kota ini! Jadi bingung, mau makan apa ya?

Anira pesen rendang dan tahu Sumedang, aku pun ikut-ikutan. Lagi-lagi rendang! Sudah hampir 2 minggu di Padang, kami nggak bosen-bosennya makan rendang. Habis, makanan khas Minang yang sempet diklaim sama negara tetangga ini emang selalu enak buat dijadiin temen nasi sih!

Saat lagi lahap-lahapnya makan, tiba-tiba mataku teralihkan oleh wajah Anira yang juga lagi lahap makan di depanku. Wajah cewek berkerudung pink itu kelihatan cerah banget. Entahlah, hari itu aku merasa Anira agak beda aja. Anira emang cantik, tapi entah kenapa hari itu ia terlihat sangat cantik.

“Ada apa, Fam?” tanya Anira tiba-tiba membangunkan lamunanku.

“Ah, ng…nggak ada apa-apa kok!” sergahku reflek.

“Nasinya buruan dimakan donk!”

“I…iya.” Aku langsung buru-buru menghabiskan makanan yang masih tersisa di piringku. Aku bego banget sih! Kok aku malah ngelamunin Anira, kalau Anira tahu kan bisa berabe!

“Duh, kenyang banget nih! Kita pulang yuk!” ajakku dengan perut yang udah buncit.

“Ayuk, tapi beliin makanan buat temen-temen kita dulu dulu ya!” seru Anira sambil membereskan tas belanjaannya.

“Oke deh, siiip…”

Anira dan ketiga temanku yang lain, Indra, Tina dan Sisi, udah hampir 2 minggu ada di Padang. Kami berlima datang dari Jakarta buat praktek Kuliah Kerja Nyata tentang budaya Minangkabau. Maklum, kami kan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, jadi hal itu udah jadi bidang kami.

Selain buat tugas kuliah, aku juga datang kesini buat sekalian mudik. Awalnya mereka ikut numpang di rumahku, tapi udah 2 hari ini mereka menginap di hotel. Katanya sih biar kerjaannya jadi lebih fokus. Maklum, di rumahku kan selalu rame.

Indra, Tina dan Sisi sengaja nggak ikut aku dan Anira karena mereka harus gantian nyeleseiin tugas. Kemaren kan aku dan Anira yang kerja, jadi sekarang giliran mereka.

Sekitar pukul 4 sore, aku dan Anira tiba di hotel. Kamar Anira, Tina, Sisi dan Indra ada di lantai 3. Mereka menyewa 2 kamar yang saling bersebelahan. Kamar Anira, Tina dan Sisi nomor 27 sedangkan kamar Indra nomor 28. Tapi, kalau buat ngerjain segala tek-tek bengek tugas sih yang dipakenya kamar Indra.

“Assalamualaikum everybody! Lagi pada sibuk nih!” sapaku sambil nyelonong masuk sama Anira ke kamar nomor 28 itu.

“Waalaikumsalam!” jawab Indra, Tina dan Sisi dengan muka-muka cemberut kayak tutut-sejenis keong sawah dalam bahasa sunda. Mereka lagi pada duduk lesehan di depan laptop.

“Lama banget sih! Kalian kemana aja?” gerutu Sisi ngambek.

“ Iya, pacaran aja mulu! Inget sama temen donk! Kita lagi sibuk, kalian malah enak-enakkan!” timpal Tina ikut ngambek.

“Si…siapa yang pacaran!” sergahku malu. Muka aku dan Anira pun langsung pada memerah. “Kita Cuma jalan-jalan doank kok!”

“Kita nggak ngelupain kalian kok! Nih, kita bawain oleh-oleh!” ucap Anira sambil memberikan sekantong keresek yang isinya 3 porsi nasi sama rendang.

“Wah, apaan nih?” seru Indra penasaran. “Wah, rendang! Kebetulan nih, kita belom makan dari tadi!”

“Makanya, jangan kerja mulu! Isi tuh perut!” seruku membalas. Mereka langsung nyerbu makanan itu dan langsung menyantapnya. Dasar, mereka kayak ayam yang lagi kelaparan aja deh!

Aku dan Anira jadi yang gantiin ngerjain tugas mereka. Kami harus nerusin nyusun laporan yang panjangnya minta ampun itu. Pantesan aja mereka pada bete, habis laporannya emang ngeboringin banget sih!

Laporan itu emang penting banget. Kalau laporannya nggak selesai, sia-sia aja semua kerjaan yang udah kami lakuin selama ini. Bete memang, tapi tak apalah, yang penting aku bisa duduk berduaan bareng Anira.

Ketika sedang sibuk-sibuknya ngerjain tugas, tiba-tiba aja kepalaku mendadak pusing. Laptop, lantai dan dinding kamar tiba-tiba terasa bergetar. Suara orang-orang yang sedang berlarian di lorong langsung bergemuruh kencang. Ada apa ini? Apa ini gempa?

Kami langsung panik berlarian keluar. Di luar, orang-orang sudah berjubel. Derai tangis, seruan Allahu Akbar dan teriakan minta tolong terdengar dimana-mana. Betapa dahsyatnya guncangan yang sedang kami rasakan saat itu. Plafon hotel berjatuhan, dinding dan lantai mulai retak. Beberapa bagian bangunan pun sudah mulai ambruk.

Kami saling terpisah satu sama lain. Dalam kepanikan yang amat sangat, aku terjebak di antara jajaran pintu dan tangga yang sudah roboh. Di sana-sini, banyak orang yang bergeletakan tertimpa puing-puing bangunan.

Ya Tuhan, apa ini akhir hidupku? Dan ternyata pertanyaanku itu langsung mendapat jawabannya. Tiba-tiba saja atap kokoh yang ada di atasku roboh menimpa tubuhku. Dan seketika, semua pun menjadi gelap, gelap gulita.

* * *

Tetesan air terus menetesi wajahku. Tetesannya terasa kental dan berbau. Baunya seperti bau darah. Darah? Apa cairan yang menetesi wajahku ini darah? Aku panik. Aku coba berteriak, tapi aku terlalu lemas untuk melakukannya.

Entah sudah berapa lama aku di sini. Bau busuk pun perlahan mulai menyeruak. Mungkinkah aku sudah menjadi mayat? Entahlah, tapi sampai sekarang aku masih bisa merasakan detak jantung dan hembusan napasku yang masih berjalan lancar.

Kring…kring…kriiiing…. Bunyi handphone di saku celanaku tiba-tiba membangunkan kebisuanku. Deringnya terus berbunyi kencang seakan menggetarkan seluruh isi bumi.

Samar-samar, terdengar suara langkah beberapa orang yang datang mendekat. Aku tak tahu darimana asal suara itu. Suara itu pun semakin mendekat, semakin dekat hingga aku dapat merasakan langkah itu sudah berada di atas kepalaku.

“Apa ada orang di dalam?” sahut seseorang di luar sana. Sepertinya ia mendengar bunyi dering handphoneku.

“Ehmmm….” jawabku mengeram. Aku tak mampu berbicara.

Perlahan-lahan secercah cahaya pun mulai terlihat. Cahaya itu semakin lama semakin lebar hingga aku bisa melihat dua sosok pria berpakaian serba loreng yang datang merangkak masuk menolongku.

“Tenang, anda selamat!” ujar salah seorang pria itu sambil mencoba mengeluarkanku.

Setelah cukup lama berusaha, akhirnya aku pun bisa dikeluarkan. Aku digotong mereka keluar dari tumpukan puing-puing bangunan yang menimpa tubuhku. Sinar mentari akhirnya dapat kulihat juga. Kilatan lampu kamera dan orang-orang yang ingin melihat segera datang mengerumuniku. Serbuan pertanyaan dari mulut mereka saling bersahutan seakan mau menerkamku. Aku hanya diam seribu bahasa. Yang aku bisa hanya menangis dan terus menangis.

* * *

Kubuka mata ini lebar-lebar. Dapat kurasakan empuknya kasur yang sedang ku tiduri saat itu.

“Ifam!!!” ucap seorang wanita berkerudung yang menangis tiba-tiba sambil memelukku. Aku kenal suara ini! Aku kenal hangat pelukan ini!

“Ibu…!” sahutku ikut menangis. Aku rangkul erat-erat tubuhnya. Ternyata tanganku sudah bisa bergerak lagi.

“Syukurlah Nak, kamu selamat!” ucap ayahku yang juga memelukku disertai kedua adik perempuanku. Derai tangis pun langsung menyeruak. “Sudah 47 jam kamu terjebak dalam puing-puing bangunan itu. Syukurlah kami bisa melihatmu lagi!”

“47 jam? Sungguh sulit dipercaya, ini mukjizat! Terima kasih ya Tuhan, karena kuasa-Mu aku masih bisa hidup. Tapi….. dimana teman-temanku? Dimana mereka?

“Mereka … mereka belum ditemukan, Fam!” ucap ibu seakan tahu isi hatiku. Tubuhku langsung lemas aku tak percaya mereka telah tiada. Lalu, bunyi handphone itu! Siapa yang menelponku?

“Bu, handphoneku mana?”

“Ini,” jawab ibukuku sambil menyerahkan handphoneku. Aku langsung memeriksa handphone itu dan ternyata ada pangilan tak terjawab dengan nama Anira di layarnya.

Untuk saudara-saudaraku di Sumatera Barat dan Jambi

Bandung, Oktober 2009

* * *