Senin, 03 Agustus 2009


Underground Pinky

“Dasar ngaret lu Ben! Jam segini baru dateng, kemana aja sih lo?” gerutu Indra ketika aku baru datang.

“Sorry…sorry…tadi jalanan macet banget,” jawabku menggunakan alasan yang seperti biasanya.

“Ah, dasar elonya aja yang lelet. Udah tau kalee kalo Bandung itu supermacet! Apalagi kalo malem Minggu kaya gini,” gerutu Rizal.

“He…he…he…sorry banget deh…”

“Ah, udah deh ayo cepet kita masuk! Udah telat banget nih!” seru Indra.

Setelah melewati pintu masuk yang dijaga ketat oleh om-om scurity dan bapak-bapak polosi yang sangar, akhirnya kami bisa sampai juga ke dalam gedung. Ribuan penonton sudah tampak memadati gedung yang berkapasitas sampai 3000 orang itu. Tujuan mereka sama, apalagi kalau bukan buat nonton band-band indie underground yang keren abies.

Menonton live music underground kaya gini memang udah menjadi hobiku. Bersama kedua sahabatku, Indra dan Rizal, aku tak pernah melewatkan kalo ada event-event yang seperti ini. Bagiku menonton live music bagai sebuah terapi untuk mengusir segala kepenatan di rumah dan di sekolah. Sebenarnya, selain itu aku juga sekalian mau cari pacar baru buat mengakhiri masa kejombloanku. Kata teman-temanku sih biasanya mereka berhasil. Jadi, mudah-mudahan aja aku juga bisa berhasil ngedapetin pacar baru.

Setelah hampir telat 30 menit, akhirnya live music pun dimulai juga. Seluruh penonton mulai bergemuruh tehipnotis oleh lagu cadas pertama yang dibawain sama band pembuka. Dentuman lagu itu juga mulai menggetarkan tubuhku hingga aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar. Sungguh fantastis memang. Saking asyiknya, aku bahkan sampai terpisah dari kedua sahabatku.

Ketika sedang asyik-asyiknya terbawa oleh hentakan musik, tiba-tiba saja pandanganku tersilaukan oleh sesosol makhluk yang ikut berjingkrak-jingkrak di sampingku. ”Gila, Britney Spears darimana nih?” pikirku dalam hati.

Penampilan cewek itu sungguh mencolok mata. Ia terlihat pede dengan wig dan tas tangan yang serba berwarna pink, serta sebuah kacamata ekstra besar yang nangkring nyaris menutupi sebagian muka mungilnya.

Tiba-tiba saja cewek itu tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku jadi salah tingkah. Apa benar cewek it melambaikan tangannya kepadaku? Lalu ia semakin mendekatiku. Jantungku pun semakin berdetak sangat kencang.

“Goyang bareng yuk!” ajaknya kepadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ngeliat wajahnya aja aku udah nerveous duluan. “Asyk banget ya?”

“I…iya,” jawabku agak terbata.

“Ayo goyang dong kaya aku!”

“I…iya.”

Meski masih agak sedikit nerveous, aku coba untuk meneruskan aksiku yang sempat terhenti tadi.

“Aku suka banget lo lagu ini. Kamu gimana?”

“Iya a…aku juga suka.”

“Mereka tuh keren banget ya.”

Kembali aku menjawab iya. Ya, hanya iya, iya dan iya yang dapat kujawab. Entah kenapa tak ada kata lain yang mampu keluar dari mulutku selain kata itu.

Sedang seru-serunya mengobrol, tiba-tiba saja ia terjatuh. Wig, tas dan kacamatanya ikut jatuh berceceran ke lantai. Aku menjadi panik. Aku coba memboyongnya dan memunguti semua barangnya yang terjatuh. Aku pegang wig dan kacamatanya, sementara tasnya aku selipkan di ketiakku. Lalu aku bawa ia ke sisi gedung untuk menyadarkannya.

“Eh, bangun-bangun!” seruku panik sambil berusaha menggoyang-goyangkan badannya agar bisa bangun dan akhirnya ia pun terbangun.

“Kamu gak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.

“Enggak, aku gak apa-apa kok. Aku… Cuma pusing doang. Makasih ya udah nolongin aku.”

“I…iya.”

Lalu ia berdiri dan mengambil wig serta kacamatanya dari tanganku.

“Sekali lagi makasih ya udah nolongin aku. Aku tak tau harus membalasnya dengan apa.”

“Ah, gak apa kok. Tapi, kamu bener gak apa-apa?”

ia mengangguk. Lalu ia kembali lagi menuju ke tengah gedung. Saat aku hendak mengikutinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh tepukan tangan yang menepuk bahu kiriku. Ketika kulihat kebelakang ternyata ada seorang bapak polisi dan seorang wanita yang berdiri di sebelahnya.

“Ini tas saya, Pak!” seru wanita itu sambil merebut tas milik cewek berambut pink itu. Aku lupa belum mengembalikannya.

“Ayo ikut saya, Dek!” seru bapak polisi sambil memborgol kedua tanganku.

“Eh, apa-apaan ini Pak? Saya mau dibawa kemana?”

“Ayo ikut saya ke kantor polisi!”

“Kantor polisi? Emangnya apa salah saya?”

“Kamu kan yang mencuri tas milik perempuan itu?”

“Enggak Pak. Saya bukan pencuri.”

“Ah, jangan bohong kamu?”

“Beneran Pak. Saya dapet tas itu dari cewek lain yang berambut pink.”

Gila, ternyata aku telah dibodohi oleh cewek berambut pink itu. Karena sebuah perbuatan yang sama sekali tak pernah kuperbuat, aku jadi harus meringkuk di kantor polisi selama sehari semalam hingga akhirnya kedua orang tuaku datang membawa sejumlah uang tebusan untuk mengekuarkanku.